Adalah Ustadz Abdul Shomad. Sang da’i sejuta umat asal Riau itu lagi-lagi menimbulkan gemuruh di alam maya saat memberikan ceramah dalam Tabligh Akbar di kota kami (Binjai, Sumatera Utara) beberapa waktu lalu.
Bermula dari pertanyaan seorang audiens yang menanyakan tentang artis wanita yang dikenal dengan nama Rina Nose (yang berarti ‘Rina Hidung’), saat ia bangga melepas jilbabnya disertai opini rancu yang menggiring pada perusakan moral generasi bangsa.
Tidak hanya memberikan statement yang merusak batas norma agama terkait syari’at hijab, ia juga sempat mengeluarkan statement yang mengandung unsur atheisme dalam salah satu akun sosmednya. Sebagaimana yang dikutip oleh situs Makassar Tribune, Rina Nose mengatakan. “Kemudian saya bertanya, kalau hidupmu sudah sebaik ini tanpa agama, lalu kenapa kamu ingin mencari tuhan dan ingin memiliki agama.”
Statemen Rina Nose di atas sontak memicu kecaman keras dari banyak pihak khususnya ummat Islam; baik para kyai, ustad, ulama, aktivis, juru dakwah, tak terkecuali ustad melayu alumni Univeristas Al-Azhar Mesir itu. Alasannya, statemen Rina Nose tersebut mengandung tendensi paham atheisme secara terselubung. Demikian pula pernyataannya terkait syari’at jilbab yang merupakan syariat mutlak dalam agama Islam dan merupakan perintah Tuhan Yang Maha Esa atas setiap muslimah untuk mengenakannya.
Ajakan untuk tidak bertuhan dan tidak beragama adalah paham atheis yang disepakati kekafirannya berdasarkan konsensus para ulama. Wajar mengundang kecaman dari para tokoh agama.
Mengingat besar kemungkinan akan berpotensi menjadi gerakan melepas jilbab. Dan ini kemungkaran yang harus diingkari. Kata Rasulullah, “Orang yang diam dan tak marah melihat kemungkaran yang dipertontonkan, maka dia setan bisu!”
Intelektual muslim asal Bandung, Dr. Taufik Rusdiana, P.hd dalam Forum Ukhuwah Ahlussunnah menegaskan, fenomena lepas jilbab seorang public figure (artis) ini tentulah bukan perkara sepele dan remeh temeh, sehingga bisa kita abaikan begitu saja, terutama bila kita kaitkan dengan perkembangan dakwah Islam di negeri ini.
Secara rasio semata tentunya tindakan Rina Nose tersebut akan berdampak luas dan berpengaruh negatif terhadap laju dakwah Islam khususnya dalam bab menutup aurat bagi wanita sesuai aturan Allah.
Yang tak kalah menarik, begitu berita “hidung pesek” ini mencuat lewat ceramah sang ustad kondang, ada fenomena unik yang cukup menghibur, dimana para pendekar liberal semisal Ustad Abu Jahal Al-Gendengi dan sekolam aktivis Talafi pun keluar kandang berjama’ah. Hanya karena seorang wanita berhidung pesek, mereka saling bergandeng tangan menyudutkan sang ustad. Unik bukan? ?
Pertanyaanya, kemana saja mereka ketika ayat suci dihina sang penista? Kemana saja ketika jenggot yang merupakan sunnah nabi dihina sang professor gila? Kemana mereka saat fir’aun betina menyebut ummat Islam sebagai peramal masa depan?
Kemana mereka saat pekik takbir (kalimat ‘Allahu Akbar’) dianggap ciri teroris? Kemana agen-agen jama’ah sekolam itu ketika dedengkot mereka membolehkan “Salep 88” membunuh seorang muslim yang masih terduga teroris dan menganggapnya mujtahid?
Kemana jama’ah sekolam itu saat salah seorang ustad idolanya menghalalkan darah para demonstran? Menyebut bentuk hidung Rina Nose tidak sebanding dengan penghalalan darah ustad kondang berjubah sunnah itu. Menyebut bentuk hidung Rina Nose tak sebanding madhorotnya dengan mufti Cileungsi yang berfatwa bahwa “Salep 88” adalah mujtahid.
Menurut sebagian netizen, kata-kata Ustad Abdus Shomad ketika menyebut “yang pesek itu”, tidaklah masuk kategori menghina. Dikarenakan beliau sedang memastikan “Rina Nose itu yang mana?”. Bisa jadi satu-satunya ciri pengenal yang beliau ingat adalah peseknya. Maka penyebutan kekurangan fisik dalam rangka pengenalan adalah boleh secara syar’i.
Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i Rahimahullah dalam kitabnya Riyadhus Shalihin membuat Bab khusus berjudul:
باب ما يباح من الغيبة
“Bab kedaan-keadaan dimana bolehnya menyebut kejelekan orang lain”.
Dalam bab ini Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i Rahimahullah menyebutkan 7 keadaan di mana boleh menyebutkan kejelekan seseorang yang memang dengan tujuan yang dibenarkan. Keadaan yang ke-7 adalah:
فإذا كان الإنسان معروفاً بلقب كالأعمش والأعرج والأصم والأعمى والأحول وغيرهم جاز تعريفهم بذلك، ويحرم إطلاقه على جهة التنقص، ولو أمكن تعريفه بغير ذلك كان أولى
“Untuk mengenalkan. Apabila dia terkenal dengan panggilan al-A’masy (orang yang kabur penglihatannya), pincang, al-Azraq (yang berwarna biru), pendek, buta, buntung tangannya, dan semisalnya maka boleh memperkenalkannya dengan menyebut hal itu. Namun tidak boleh menyebutnya (membicarakannya) karena menghina. Dan jika bisa memperkenalkannya dengan sebutan yang lain tentu itu lebih baik”.
Maka, dalam hal ini apa yang dilakukan Ustad Abdul Shomad dengan menyebut bentuk hidung Rina Nose tidaklah melanggar syariat. Anggaplah Ustad Abdul Shomad memang berniat merendahkan atau mengejek kekurangan Rina Nose, itu jelas merupakan kesombongan. Tapi ada ungkapan yang menyebutkan “Tih ‘ala tayyahi fa-inna tayha ‘ala tayyahi shodaqoh” (sombonglah kepada orang yang sombong, karena sombong kepada orang yang sombong adalah sedekah).
Lagian pula, sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini saudari Rina Nose memang “menjual” kepesekannya untuk melambungkan namanya di dunia entertainment, sesuai dengan guyonannya di televisi.
Ia dan teman-temannya sendiri sering menjadikan keadaan fisiknya sebagai bahan candaan dan bangga menjadikan kekurangan fisiknya sebagai bahan lawakan sehingga membuatnya jadi semakin terkenal. Oleh karena itu, sah-sah saja jika ada orang yang mengatakan dirinya pesek karena memang dia sendiri yang membuka pintu masuk untuk itu.
Dengan demikian, bagi para jama’ah sekolam (yaitu para pendekar berjubah sunnah, liberal bertopeng pancasila, dan situs-situs pedagang gorengan) tak perlu lah menampakkan kedunguan di depan masyarakat dengan terus menggoreng berita ini guna menyudutkan sang tokoh agama.
Kami tahu bahwa kalian bukan membela wanita pesek itu, tetapi memang sudah terlampau menyimpan hasad dan kedengkian pada si da’i kondang. Apa boleh buat, kami juga sangat memaklumi, yang namanya pedagang gorengan tetap saja akan menggoreng. Jika tidak menggoreng maka tak laku dagangannya.
Melepas jilbab disertai pembentukan opini rancu adalah kefasikan yang dipertontonkan. Dalam perspektif Islam pelakunya mesti diberi peringatan keras dan masyarakat harus dijauhkan akan bahaya penyesatannya. Ditambah lagi adanya statement semacam seruan/ajakan dari yang bersangkutan untuk tidak bertuhan, disadari atau tidak itu adalah kekufuran yang nyata.
Maka terlalu ringan sebenarnya jika hanya sekedar dikatakan “jelek dan pesek”. Sebab bila kita mengacu pada konsep Islam yang sebenarnya, justru ia berhak mendapatkan yang lebih dari itu. Kata Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ، رواه البخاري
“Siapa saja yang mengganti agamanya, maka bunuhlah” (HR.Bukhari).
Ada yang berasumsi begini, seorang yang merendahkan syariat jilbab mesti direndahkan serendah-rendahnya. Tapi kami yakin, saudari Rina Nose adalah orang baik yang in sya’ Allah akan kembali kepada jalan yang baik.
Ketauilah bahwa hijab/jilbab adalah syariat agama yang mulia, yang dengannya meninggikan derajat para wanita. Diakui dalam semua kitab samawi, bahkan para wanita-wanita ortodoks Yahudi sampai para biarawati Nasrani pun mengakui. Karena dia turun dari sisi Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah Rabbul ‘Izzah wal Jalalah. kembali ke jalan yang benar adalah solusi, bergaul dengan kalangan liberal adalah polusi.
Semoga saudari Rina Nose melepas jilbab bukan karena tuntutan dalam dunia penuh drama, atau karena terinspirasi pandangan liberal para professor kelebihan gizi yang menyatakan menutup aurat tidak wajib.
Semoga Allah memberi saudari Rina Nose dan kita semua hidayah dan petunjuk. Aamiin..
✍ Oleh: Maaher At-Thuwailibi
Discussion about this post