Kenaikan harga beras dunia pada Mei 2025 sebagaimana dilaporkan beberapa media (10/6), menciptakan sebuah paradoks yang mencolok. Meskipun Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memperkirakan produksi beras global pada tahun 2025/2026 mencapai 551,5 juta ton—naik 4,9 juta ton dari tahun sebelumnya—harga beras tetap melonjak. Fenomena ini menunjukkan ketidakseimbangan antara produksi yang melimpah dan harga yang melambung, sebuah tantangan besar bagi negara pengimpor beras, termasuk Indonesia.
Di Jepang, krisis beras jenis japonica mendorong harga melonjak, sementara di Indonesia, meskipun produksi domestik diperkirakan meningkat, harga beras medium di tingkat konsumen masih lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET). Ini menegaskan dampak besar dari faktor eksternal yang tidak dapat diabaikan.
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah responsif, seperti memberikan bantuan beras kepada 18,3 juta keluarga berpenghasilan rendah dan mengoptimalkan program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Namun, di tengah turbulensi global ini, visi ambisius Presiden Prabowo Subianto tentang swasembada pangan dan kemandirian pangan, yang disebutnya sebagai “masalah hidup-mati bangsa,” perlu diuji konsistensinya. Ada “gajah” besar di lumbung padi kita yang mungkin belum tertangani sepenuhnya.
Janji dan Realita, Jangan Janji Lalu Sakit
Pemerintah mengklaim sejumlah capaian signifikan, seperti target peningkatan produksi beras di Sumatra Selatan, rekor cadangan beras Bulog yang mencapai 3,7 juta ton, dan target swasembada jagung pada tahun 2026. Presiden Prabowo juga menekankan desentralisasi produksi jagung di Sulawesi Selatan yang melonjak 33% pada kuartal I-2025. Namun, realita di lapangan seringkali kontras. Impor beras Indonesia pada tahun 2023 adalah yang terbesar dalam 25 tahun terakhir, mencapai 3,06 juta ton. Angka ini menunjukkan kesenjangan signifikan antara janji dan kondisi riil produksi domestik.
Alokasi anggaran sebesar Rp139,4 triliun untuk program pangan 2024–2029 juga menimbulkan pertanyaan. Sebagian besar dana dialokasikan untuk program seperti Makan Bergizi Gratis di bawah Badan Gizi Nasional, yang dikritik kurang fokus pada infrastruktur inti pertanian. Proyek food estate yang ditinjau langsung oleh Presiden Prabowo, misalnya, adalah warisan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) era SBY yang dinilai gagal. Melanjutkan proyek semacam ini tanpa evaluasi mendalam hanya akan mengulang kegagalan historis.
Kebijakan Terpecah
Presiden Prabowo menekankan pentingnya integrasi ketahanan pangan, energi, dan air. Namun, implementasinya justru mengulang pola kebijakan yang tidak terkoordinasi. Program Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) di Merauke, Papua, misalnya, melibatkan beberapa kementerian tanpa koordinasi yang jelas, memicu tumpang tindih kewenangan dan potensi konflik.
Kementerian Perdagangan sering mengizinkan impor jagung saat Kementerian Pertanian menargetkan swasembada, berujung pada anjloknya harga jagung lokal saat panen raya. Dalam konteks food estate, tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memicu konflik lahan dengan masyarakat adat. Gudang desa Kementerian Dalam Negeri pun sering tidak terhubung secara efektif dengan rantai pasok Bulog, mengakibatkan sekitar 30% buah atau sayur terbuang.
Masalah mendasar juga terletak pada efisiensi sistem kerja nasional yang belum optimal. Banyaknya hari libur dan cuti bersama sering disebut mengganggu ritme industri, padahal akar masalahnya adalah sistem kerja yang belum cerdas. Negara-negara seperti Singapura dan Malaysia telah mengembangkan sistem kerja efisien berbasis teknologi. Selain itu, kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah sebesar Rp6.500/kg yang berlaku mulai 15 Januari 2025 dapat menciptakan ketidakpastian bagi petani jika tidak konsisten.
Ancaman alih fungsi lahan pertanian juga serius, dengan estimasi 100.000 hektar lahan produktif beralih fungsi setiap tahun. Ini semua adalah tantangan nyata bagi kemandirian dan kedaulatan pangan.
Solusi Konkret Pangan
Untuk menghindari pengulangan kegagalan dan benar-benar mewujudkan kedaulatan pangan, pemerintah perlu mengambil langkah strategis yang lebih holistik. Pertama, harmonisasi regulasi total. Ini berarti mengonsolidasikan sekitar 24 undang-undang sektoral terkait pangan ke dalam satu payung hukum yang komprehensif.
Peran Menteri Koordinator Pangan perlu diperkuat untuk mengintegrasikan semua kepentingan dan kebijakan terkait pangan, termasuk sinkronisasi program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis. Ini akan memastikan semua Kementerian/Lembaga bergerak dalam satu arah, mempercepat implementasi kebijakan pangan nasional secara efektif.
Kedua, pertanian lokal harus menjadi prioritas. Anggaran food estate sebaiknya dialihkan untuk rehabilitasi lahan eksisting—sekitar 7,4 juta hektar sawah produktif yang bisa dioptimalkan—dan pengembangan teknologi irigasi, seperti penyediaan 80.000 pompa air untuk mengatasi kekeringan.
Diversifikasi pangan lokal, seperti sagu Papua, jagung NTB, dan umbi Jawa, harus didorong sebagai substitusi beras, untuk mengurangi ketergantungan pada impor gandum yang mencapai 11 juta ton per tahun. Selain itu, reformasi sistem kerja yang cerdas dan berbasis hasil juga krusial, mengambil pelajaran dari negara-negara yang produktif. Ini bukan hanya tentang kebijakan pangan, tetapi juga tentang menciptakan kesejahteraan melalui efisiensi nasional.
Ketiga, transparansi partisipasi kunci. Penting untuk membuka akses data real-time terkait stok pangan, serapan Bulog, dan kemajuan proyek melalui platform digital, demi meningkatkan akuntabilitas dan kepercayaan publik. Melibatkan masyarakat adat dalam setiap keputusan alih fungsi lahan sangat krusial untuk menghindari konflik dan memastikan keberlanjutan.
Dalam hal infrastruktur, pemerintah harus fokus pada integrasi gudang desa dengan sistem logistik nasional agar hasil petani tidak terbuang sia-sia. Untuk kesejahteraan petani, selain menaikkan Harga Pokok Produksi (HPP) gabah, pemerintah harus memastikan stabilisasi harga dan akses petani terhadap pembiayaan teknologi pertanian.
Pangan, Bukan sebatas Jargon
Presiden Prabowo benar: “Tanpa pangan, tak ada kedaulatan politik.” Namun, kedaulatan tidak cukup diwujudkan dengan jargon “swasembada” atau “lumbung pangan.” Diperlukan keberanian untuk mengoreksi kegagalan masa lalu, konsistensi regulasi, dan pemberdayaan petani sebagai subjek utama.
Jika tidak segera dibenahi, proyek food estate berisiko menjadi bencana ekologi ketiga setelah PLG dan MIFEE. Sudah saatnya menggeser paradigma dari pertanian korporasi skala besar ke penguatan sistem pangan berbasis komunitas, yang terintegrasi dengan peningkatan efisiensi sistem kerja nasional. Sebab, pangan bukan sekadar komoditas politik, melainkan esensi hidup bangsa.
Mampukah Presiden Prabowo mewujudkan janji-janji mulianya menjadi kebijakan yang benar-benar solutif bagi pangan Indonesia, yang mengarah pada ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan sejati di tengah tantangan global?
Discussion about this post