Masyarakat Minangkabau, tentunya tidak asing lagi dengan seni ukir yang terdapat pada Museum Istano Basa Pagaruyung. Seni ukir ini pada zaman dahulunya, bukan hanya sekedar ukiran semata. Melainkan, sebagai simbol yang menyiratkan pesan serta makna yang mendalam, guna menjalani kehidupan bermasyarakat.
Ukiran-ukiran yang digunakan pada Museum Istano Basa Pagaruyung, merupakan gambaran alam sekitar, seperti tumbuhan, binatang, benda dan juga manusia.
Ragam hias ukiran yang melekat pada Istano Basa Pagaruyung, dulunya menjadi sebuah media pendidikan, terhadap anak, kemenakan di Minangkabau.
Ukiran tersebut bisa kita lihat pada, setiap arsitektur bangunan yang melekat pada Museum Istano Basa Pagaruyung. Mulai dari sisi luar museum, hingga ke dalam museum.
Bukan hanya museum saja, bangunan di luar museumpun juga memiliki ukiran. Seperti contohnya Rangkiang Patah Sambilan, Tabuah (Beduk).
Jenis ukiran yang melekat pada Museum Istano Basa Pagaruyung, bersumber pada falsafah masyarakat
Minangkabau pada dahulunya yang mengatakan : “Alam Takambang Jadi Guru” (Alam yang luas bisa dijadikan guru).
Jadi, seni ukir tersebut membuktikan bahwa, ukiran merupakan salah satu unsur penting, di Minangkabau. Yang tentunya sulit untuk dihilangkan dari ingatan masyarakat Minang.
Karena apa? Karena masyarakat Minang bercermin kepada apa yang ada di alam. Namun, tidak lepas dengan Syariat Islam. Sesuai juga dengan falsafah yang berbunyi : adat basandi syarak, syarak
basandi Kitabullah (adat berlandaskan pada syariat, dan syariat berlandaskan pada
Kitabullah/Kitab Allah).
Penulis tertarik mengangkat artikel ini, dikarenakan kondisi saat sekarang, yang penulis amati. Kenyataannya sekarang bahwa seni ukir tradisional Minangkabau, telah kehilangan jati diri dan maknanya.
Bisa dilihat dan diamati juga bahwa, masyarakat umum bahkan masyarakat Minangkabau sendiri, tidak banyak lagi yang mengetahui tentang makna dan filosofi yang terkandung di dalamnya.
Ini semua, disebabkan karena kurangnya rasa ingin tahu serta, pemahaman pada makna dan filosofi yang terkandung dalam seni ukir tersebut.
Penulis berharap, melalui artikel ini masyarakat Minangkabau kembali mau belajar/mempelajari mengenai seni ukir yang terdapat pada Istano Basa Pagaruyung. Agar masyarakat Minangkabau khususnya, nantinya tidak kehilangan makna dari seni ukir tradisional itu sendiri, digilas perkembangan zaman.
Di sini penulis menyimpulkan bahwa, kebudayaan Minangkabau selalu mengakulturasi antara agama (adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah) dan falsafah setempat (alam takambang jadi guru). Yang menghasilkan norma-norma berupa adat, yang menjadi acuan masyarakat Minangkabau dalam bertingkah laku sehari-hari.
Kita tutup dengan pantun :
Sicerek di tapi banda,
Kok jatuah tolong tagakkan,
Ambo ketek baru baraja,
Kok salah tolong tunjuakkan
Sumber : e-jurnal; Resky Annisa Damayanti
Discussion about this post