Pemilihan Wali Nagari (PILWANA) serentak Kabupaten Agam bakal digelar tahun ini (2021),direncanakan bulan September dengan sistem elektronik/e voting yakni sebanyak 25 nagari tersebar pada 14 kecamatan minus nagari persiapan yang masih menunggu kesiapan administrasi, mengingat kondisi masih pandemi Covid-19, maka sesuai Permendagri nomor 72 tahun 2020 tentang e-Voting, pelaksanaan pilwana harus menerapkan protokol kesehatan
Besar harapan pada setiap Pilwana mengingat alek demokrasi ini menjadi sarana bagi masyarakat untuk memilih calon pemimpin mereka yang akan menentukan arah dan lokomotif pembangunan nagari 6 tahun kedepan, dimana nagari sebagai sebuah institusi pemerintahan terendah yang khas ibarat sebuah negara kecil yang otonom yang diberi kewenangan untuk mengatur dan mengelola sumber daya pembangunan baik bersumber dari pemerintah maupun dari masyarakat baik ranah maupun perantauan
Tulisan ini mencoba mengurai sebuah jawaban pertanyaan model kepemimpinan alternatif bagaimanakah yang sebaiknya dilakoni (baca : dibiasakan) wali nagari sehingga nagari madani sebagai implementasi dari visi Agam madani di Kab Agam bisa membumi?
Jamak kita maklumi, bahwa peran nagari (desa secara nasional) dengan lahirnya UU Desa No 6 th 2014 sangatlah strategis yang didukung oleh anggaran yang besar dimana 10% dari APBN/APBD harus ditransfer ke desa/nagari serta keotonomian yang juga luas dalam mengembangkan pembangunan berlandaskan kearifan lokal (local wisdom).
Maka di kab Agam, sesuai dengan visi daerah yang tertuang kedalam perda RPJP Perda no 11 tahun 2005, visi dan misi kepala daerah terpilih yang segra dibahas menjadi perda RPJMD priode 2021-2024, serta Perbup tahun 2015 tentang gerakan nagari madani, dibutuhkan sebuah model kepemimpinan inovatif yang dinamis dan berorientasi jauh ke depan.
Model kepemimpinan yang kita maksud adalah kepemimpinan kharismatik yang mampu menjadi inspirator, motivator serta inovator yang mampu mengkonsolidasi semua potensi nagari, merangkul semua potensi pembangunan baik potensi kampung halaman apalagi perantauan.
Seorang wali nagari harus memiliki standar kecakapan/skil manajemen kepemimpinan minimal yaitu mampu merancang rencana pembangunan nagari yang baik (plan), selanjutnya bagaimana mampu melakukanya (do), bagaimana mampu mengontrol dan mengevaluasi (control/check) serta mampu menjadikan hasil evaluasi sebagai pelajaran berharga masa depan (knowledge).
Maka untuk mewujudkan standar minimal kemampuan dasar manajemen kepemimpinan wali nagari, dikaitkan dengan visi Agam madani dan gerakan nagari madani maka ada kriteria khusus dan umum bagi calon wali nagari harapan, kriteria khusus adalah pertama mestilah seorang taat beragama yakni terlihat kepribadian yang taat yang dilihat dari ibadah terutama melaksanakan sholat lima waktu, kedua teruji selama ini aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan sebaiknya telah terlibat selama ini dalam kegiatan-kegiatan nagari, ketiga memiliki kepribadian yang supel dalam artian bisa dengan nan tuo/niniak mamak, nan mudo serta bundo kanduang dan cadiak pandai, jujur dan amanah.
Adapun kriteria umum dibutuhkan minimal delapan kebiasaan positif yang perlu diperhatikan oleh wali nagari dan umunya pemimpin masyarakat, kriteria ini menjadi acuan pembelajaran dari pribadi yang siap terbuka dan mau menerima masukan artinya kriteria yang perlu diterapkan jika diamanahkan masyarakat/dicalonkan ataupun menang pada pilwana.
Pertama Kejelasan Visi dan misi, maka seorang calon wali nagari ataupun siapa yang menang pada Pilwana perlu memiliki dan menyempurnakan visi dan misi secara gamblang dan jelas serta mudah dipahami semua pihak/stakeholders.
Tanpa memiliki visi dan misi yang jelas dan terukur yang akan dituangkan kedalam RPJM nagari jelas dapat dipastikan nagari dalam posisi krusial karna tidak jelas mau kemana nagari tersebut dibawa.
Kedua, bahwa seorang wali nagari adalah pemimpin yang mau dan siap mendengar orang lain. Faktanya wali nagari adalah memang pelayan masyarakat, penghubung berbagai kepentingan rakyat serta harus mampu menjadi jembatan komunikasi lintas lembaga nagari dan perantau serta pemerintahan daerah.
Wali nagari kerap setelah terpilih merasa lebih hebat/figur public sindrom dan kadang tidak lagi mau mendengar masukan, saran bahkan kritikan orang lain, jika hal ini terjadi inilah awal kegagalan kepemimpinan seorang wali nagari.
Ketiga kebiasaan positif yang perlu dibudayakan seorang wali nagari adalah melibatkan semua pihak (stakeholders) dalam setiap pengambilan kebijakan strategis di nagari terutama dengan para perantauan dan para pemikir, cendikiawan, niniak mamak dan ulama/tiga tungku sejarangan.
Keempat bahwa seorang wali nagari harus senantiasa mengembangkan program peningkatan kapasitas diri dan aparatur nagari (professional development) sehingga peningkatan dan pengembangan SDM penyelenggara nagari berjalan dengan baik seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi.
Mengembangkan model nagari pintar (smart village) adalah sebuah keniscayaan jika sebuah nagari ingin maju dan cepat berkembang, terutama memanfaatkan kemajuan IPTEK, baik soal komunikasi, apalagi soal pendataan dan catatan sipil. Maka pengembangan kapasitas/capacity building mutlak harus dilakukan jika tidak ingin digilas zaman.
Kemampuan teknis bagi aparatur nagari dalam mengelola sumber daya keuangan, administrasi yang rapi dan modren serta kemampuan mengelola proyek nagari yang profesional dan handal mestilah menjadi standar kemampuan minimal seluruh aparatur nagari jika hal ini terlambat dilakukan maka sebuah nagari akan lamban merespon kebijakan pembangunan kabupaten dan juga akan kurang kencang melaksanakan penyerapan anggaran bahkan sering terjadi SILPA/tak mampu mnyerap anggaran dengan baik akhirnya dikembalikan ke kas daerah.
Kelima mengedapankan fungsi koordinasi dengan semua elemen masyarakat dan lembaga-lembaga nagari lainya, tak jarang dengan minimnya kordinasi banyak kelembagaan disebuah nagari vakum aliar mati suri, wali nagarilah yang menjalankan fungsi kordinasi sehingga semua pihak berjalan sesuai tugas dan fungsi masing-masing.
Keenam mampu mencari dukungan dengan pihak lain, budaya membangun jaringan/link dengan berbagai pihak akan mempermudah kesuksesan seorang wali nagari, disini dituntut kemampuan komunikasi dan kedekatan dengan banyak pihak baik dengan jaringan organisasi perantau, anggota DPRD, Pemda maupun pihak swasta.
Kelemahan komunikasi dapat berawal dari sikap egoisme dan kekakuan kepemimpinan seorang wali nagari, maka sikap rendah hati serta siap bekerja sama dengan berbagai kekuatan politik dan kemasyarakatan akan menumbuhkan rasa simpati banyak pihak yang pada giliranya mereka akan mau memberikan kontribusinya untuk pembangunan nagari.
Ketujuh seorang wali nagari sebaiknya menyiapkan tim pendamping dan kelompok pakar yang akan memberikan masukan dan saran sebagai referensi dalam mengambil kebijakan. Ditengah luasnya kewenangan pengelolaan dana nagari dan terus meningkatnya dana transfer ke nagari maka seorang wali nagari perlu berhati – hati dalam pengelolaan keuangan nagari agar terhindar dari masalah hukum dikemudian hari.
Disamping pembinaan oleh Pemerintahan Daerah dan juga petugas/fasilitator pembangunan nagari, sekarang ini perguruan tinggi melalui program pengabdian kemasyarakatan menempatkan para pakar/ahli dari para dosen untuk melakukan pendampingan kepada nagari, maka kesempatan ini dapat dimanfaatkan nagari untuk menjadi nagari binaan sebuah perguruan tinggi.
Delapan, seorang wali nagari harus memiliki instrumen evaluasi program secara terukur dan mampu menganalisis kemajuan setiap program, sehingga program yang baik dapat terus dikembangkan sementara program yang kurang tepat dapat diperbaiki.
Kesemua prilaku kepemimpinan (leadership behaviors) diatas sebaiknya mampu menjadi karakter kepemimpinan nagari sehingga kepercayaan/trust masyarakat nagari dapat senantiasa dijaga. Modal kepercayaan didalam kepemimpinan nagari akan menjadi faktor kunci (key factor) lahir, tumbuh berkembangnya partisipasi masyarakat bahkan mampu mendorong swadaya pembangunan nagari melebihi sumber pendanaan pemerintah daerah.
Kerap kita perhatikan banyak pembangunan di nagari berupa gedung, jalan dan berbagai fasilitas umum apalagi sarana ibadah dibangun dari dana swadaya terutama dari perantauan akibat berkembangnya rasa memiliki (sense of belonging) dan kecintaan anak nagari kepada nagarinya yang salah satu pendorongnya rasa kepercayaan masyarakat kepada kepemimpinan nagari. Semoga.
Untuk menemukan figur ideal tentulah sulit karna tiada manusia yang sempurna namun yang mendekati dan siap menerima masukan dan saran dari berbagai pihak tentulah akan sempurna dalam perjalananya dengan dukungan semua pihak, sebagaimana bunyi hadis Rasul “jika kamu angkat orang terlemah diantara kamu lalu kamu dukung bersama maka jadilah dia menjadi orang terkuat diantara kamu, dan sebaliknya jika kamu angkatpun orang terkuat diantara kamu dan tidak kamu dukung maka jadilah ia orang terlemah diantara kamu”. Semoga
Wallahua’lam bissawab.
Discussion about this post