Jika mendengar tentang kata “perempuan”, pasti dikenal dengan sosok yang lemah lembut dan penyayang. Tetapi setiap perempuan pasti memiliki perbedaan masing-masing, baik dalam sikap ataupun hal lainnya. Setiap perempuan yang ada di Indonesia pasti mempunyai julukan atau sebutan yang berbeda-beda, salah satu contohnya Perempuan Minangkabau. Perempuan Minangkabau jika dilihat dari segi budayanya pasti banyak ungkapan yang melambangkan tingginya kedudukan setiap perempuan yang ada di daerah Minangkabau ini, di mana setiap perempuan-perempuan yang tinggal di daerah ini sangat dihormati dan sangat dijaga oleh adatnya.
Mengapa perempuan di Minangkabau sangat dijunjung tinggi? Hal ini dikarenakan sistem adat yang sudah diatur sejak dahulu. Sistem di Minangkabau mengikuti aliran matrilineal, dimana aliran matrilieal ini merupakan aliran yang mengikuti garis keturunan ibu. Contohnya setiap anak dalam anggota keluarga Minang, pasti mengikuti suku ibunya, seperti salah satu contohnya seorang anak yang terlahir dari anggota keluarga di mana ibunya bersuku Chaniago, maka anak tersebut akan bersuku Chaniago pula. Di sini dapat dilihat betapa pentingnya peran perempuan yang ada di Minangkabau.
Perempuan Minangkabau melambangkan sebagai limpapeh rumah nan gadang sumarak anjuang nan tinggi. Ungkapan tersebut biasanya ditunjukan kepada wanita Minang yang disebut sebagai Bundo Kanduang. Dimana Limpapeh itu berarti seorang Bundo Kanduang bertanggung jawab dalam keluarga karena ia tiang penyanggah rumah tangga. Ia berarti pusat kekuatan yang ada pada tiang-tiang kehidupan yang ada di dalam rumah tangga. Hal ini juga berarti sebagai simbol runtuh atau bangunnya sebuah kaum dalam artian baik atau buruknya suatu kaum dalam Minangkabau, dpaat dilihat atau tergantung dari perempuannya. Tetapi bukan berarti setiap perempuan Minang bisa disebut sebagai Bundo Kanduang.
Seorang Bundo Kanduang tidak hanya menjadi hiasan dalam bentuk fisik saja, tetapi kepribadian seseorang yang bisa disebut sebagai Bundo Kanduang harus mengerti tentang adat yang adat di daerah Minangkabau. Perempuan yang dapat disebut sebagai Bundo Kanduang harus tahu dengan malu, sopan-santun seorang perempuan, gaya berbahasa yang baik, bahkan hingga tata cara berpakaian yang pantas menurut adat. Tatanan adat yang sudah ada di daerah Minangkabau ini sudah mengatur sedemikian rupa bagaimana perempuan yang berada di Minangkabau.
Maka dari itu, tidak bisa setiap perempuan yang tinggal di minangkabau dapat disebut sebagai Bundo Kanduang. Jika salah seorang dari perempuan tersebut tidak mengenal ada-istiadat dalam daerah Minang, maka dirinya belum bisa dikatakan sebagai Bundo Kanduang.
Bundo Kanduang merujuk pada kumpulan perempuan yang paling tua pada suatu kaum, Bundo Kanduang juga berfungsi sebagai pewaris/penerima waris dari harta pusako tinggi, melambangkan moralitas perempuan Minang, serta menjaga keberlangsungan keturunan anak cucunya kelak. Maka dari itu untuk menjadi seseorang yang bisa disebut sebagai perempuan Minang/Bundo Kanduang haruslah sangat mengeti dengan adat-istiadat yang sudah diatur dalam Minangkabau.
Apakah masih ada perempuan yang dijuluki sebagai perempuan Minang/Bundo Kanduang pada saat zaman sekarang ini? Tentulah masih ada. Tetapi jika dilihat-lihat dari perkembangan zaman dan sudah mulai lunturnya budaya adat dalam suatu daerah, maka sudah jarang terlihat perempuan yang sangat mengerti tentang adat tersebut. Dilihat dari cara berpakaian perempuan-perempuan di daerah Minang yang sudah mulai mengikuti arus perkembangan zaman, seperti gaya berpakaian yang bisa dibilang agak ketat atau semacamnya, jika dilihat lebih jelas lagi bahwa tidak jarang juga dari perempuan-perempuan Minang yang gaya berbicara atau berbahasanya juga tidak mengerti dengan kato nan ampek yaitu: mandata, mandaki, manurun dan malereang. Mereka menyamaratakan gaya berbahasa kepada teman sebaya dan orang tua.
Di sanalah terlihat sudah mulai jarangnya tersebut perempuan minangkabau yang dapat disebut sebagai Bundo Kanduang. Tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada perempuan yang ada di Minangkabau. Hal ini terjadi secara spontan, di mana seseorang mengikuti arus perkembangan zaman yang membuat sesuatu dalam adat di suatu daerah yang awalnya mengatur kehidupan masyarakatnya, kini sudah mulai luntur atau pudar.
Karena realitas suatu masyarakat yang kontemporer menunjukan kecendrungan untuk menjadi global. Perubahan zaman yang cukup dinamis yang dapat mempengaruhi tatanan masyarakat perempuan Minang pada saat sekarang. Dari hal itulah yang menyebabkan sudah jarangnya terlihat perempuan Minang yang dapat disebut sebagai Bundo Kanduang pada zaman sekarang ini.
Pesatnya perkembangan arus globalisasi tidak dapat memungkiri jika suatu saat nanti julukan perempuan Minangkabau atau disebut sebagai Bundo Kanduang ini akan mendadak hilang atau pudar, karena besarnya pengaruh yang dibawa oleh budaya barat yang dapat menyebabkan semakin pudarnya adat yang ada di suatu daerah. Tetapi jika seseorang atau masyarakat yang ada di suatu daerah dapat meminimalisir untuk memilah pengaruh-pengaruh dari perkembangan zaman, maka itu bukan menjadi alasan jika suatu saat adat akan mendadak pudar.
Pudar, hilang, atau terlupakannya suatu adat yang awalnya mengatur masyarakatnya itu tergantung pada masyarakat yang ada dalam kaum itu sendiri. Jika mereka tetap melihat adat dan menjadikan adat itu sebagai patokan dalam kehidupan yang berlangsung di daerahnya, serta menjaga adat tersebut dengan sebaik-baiknya maka adat tersebut tidak akan pernah hilang.
Begitu juga bagi perempuan yang ada di Minangkabau. Jika seorang perempuan Minang ingin disebut sebagai Bundo Kanduang, maka hendaklah seorang perempuan tersebut harus mempelajari dan mengerti ada-istiadat yang tertulis di daerah Minangkabau itu, perempuan tersebut juga harus memerhatikan tutur bahasa, sopan-santun dalam bertingkah laku, hingga tata cara berpakaian seorang perempuan yang dapat disebut sebagai Bundo Kanduang. Jika hal tersebut dapat dilakukan dan ditanam dengan baik pada kehidupan setiap perempuan Minangkabau, maka julukan seoang Bundo Kanduang tidak akan pernah hilang atau pudar di Minangkabau.
Penulis : Putri Marselina
Mahasiswi Jurusan Sastra Minangkabau, Universitas Andalas
Discussion about this post