Oleh : Ikhlas Darma Murya, S.Kom
Terhadap pembaca budiman, dan juga kepada seluruh lapisan masyarakat umumnya di manapun berada, terkhusus untuk masyarakat Padang Pariaman dan sekitar. Memang barangkali saya agak terlambat memberikan penjelasan tertulis. Karena satu sisi, belakangan aktifitas saya sebagai penulis atau jurnalis agak tersendat mengingat jadwal kegiatan saya lainnya yang begitu padat.
Di sini, izinkan saya memohon izin untuk kesediaan waktunya agar saya dapat menjelaskan peristiwa sebenarnya secara utuh, sesuai realitas terkait dengan postingan di akun Facebook saya pribadi (Ikhlas Darma Murya) tertanggal 25 Juli 2018, pukul 12.31 WIB di RS Paritmalintang, Padang Pariaman yang totalitas mengkritisi kebijakan “konyol” Ali Mukhni yang berdampak luas, terutama mengabaikan sisi kemanusiaan pasien-pasien serta masyarakat yang membutukan petolongan medis di sana.
Spontan terlintas kala itu di benak saya yang menyaksikan langsung keributan pasien di rumah sakit, kebijakan yang dikeluarkan Ali Mukhni memutasi 6 dokter spesialis terhitung tanggal 23 Juli 2018 yang mereka terima Rabu 25 Juli 2018 tanpa adanya solusi atau tenanga medis pengganti yang sepadan, sangatlah bertentangan dengan sila ke dua Pancasila : Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dan selain itu pada konteks legitimasi, kebijakan Ali Mukhni terindikasi menyalahi Sertifikat Kompetensi, baik itu UU, PP dan Permenkes telah menempatkan dokter (spesialis) sebagai pemilik wewenang terbesar dibandingkan dengan Nakes (tenaga kesehatan) lainnya di lapangan.
Apalagi hemat saya menyoal rumah sakit (medis), pun di mata dunia internasional adalah persoalan yang menyangkut dua hal fokus menjadi bagian tak terpisahkan bersifat vital, yakni: sisi pelayanan dan sisi kemanusiaan.
Itulah sebabnya kenapa rumah sakit dilarang diserang apabila terjadi gencatan senjata; kenapa masyarakat dunia internasional berbondong bondong masuk ke Indonesia menyalurkan bantuan medis ke Aceh ketika tsunami 2004, dan Sumatera Barat sewaktu gempa yang terjadi 2009 sekalipun dalam kajiannya bantuan dari masyarakat dunia internasional mengabaikan regulasi secara administrasi. Begitu pentingnya kemanusiaan dalam hal penanganan medis. Lantas Ali Mukhni? Dengan gapahnya “mengobok-obok” pelayanan di rumah sakit mengenyampingkan sisi kemanusiaan.
Bayangkan! Pasien-pasien yang seharusnya mendapatkan pertolongan medis secara intensif oleh dokter-dokter spesialis dibiarkan terlantar tanpa tindakan medis. Bahkan lebih mirisnya ketika saya mendapati seorang pasien ibu lansia masih berlumur darah segar dalam keadaan diperbal akibat kecelakaan fatal, tergeletak di ruang IGD.
Lalu di mana sisi kemanusiaan dampak dari kebijakan konyol Bupati Ali Mukhni memutasi 6 dokter spesialis ke Badan Kepegawaian Daerah (BKD) tanpa memikirkan dan memperhatikan sisi pelayanan dan kemanusiaan pasien serta masyarakat yang sewaktu-waktu membutuhkan? Terang keberadaan 6 dokter spesialis di RS saat itu kosong tanpa pengganti seperti Spesialis Mata; Spesialis Paru; Spesialis Labor; Spesialis Kulit dan Kelamin; Spesialis Bedah; Spesialis Orthopedy/Bedah Tulang. 6 dokter spesialis tersebut hingga sekarang “parkir” di BKD.
Sangat disayangkan jikasanya Ali Mukhni abai terhadap persoalan itu. Seakan-akan beliau lebih mementingkan pencitraan nama baik dan kegadangan beliau, baik secara pribadi sebagai Bupati Padang Pariaman ataupun tokoh politik memasuki masa tahun politik. Mereka mengkait-kaitkannya dengan politik.
Postingan saya itu menurut mereka laksana suatu “serangan politis”, sesuai dengan yang diekspos oleh beberapa media online, elektronik dan cetak, menganggap kritikan keras saya itu adalah bentuk penghinaan atas ujaran kebencian serta upaya mencemarkan nama baik bupati. La hawla wala quwwata illa billahil aliyyil ‘adzim…
Suatu upaya kesengajaan yang katanya sekaitan memasuki tahun politik, berpotensi merugikan karier Ali Mukhni selaku ketua partai politik di Propinsi Sumatera Barat dan kredibilitas beliau sebagai Bupati Padang Pariaman. Nauzubillahi minzaliq…
Saya memaklumi pro dan kontra yang tengah berlangsung, terlebih bullying terhadap saya pasca Bupati Padang Pariaman Ali Mukhni menyatakan sikap ketidaksenangannya dengan melaporkan saya ke Kepolisian Resort Padang Pariaman, lima hari setelah unggahan itu dipostingkan. Saya mengetahui hal tersebut ketika itu Senin 30 Juli 2018 sekira pagi menjelang siang. Saya terima dengan hati yang ikhlas. Sebab Ali Mukhni sebagai warga Negara Indonesia punya hak kontitusi yang sama dengan kita semua.
Namun, beberapa hal yang harus diketahui publik sebelum saya mempostingkan kritikan keras kepada Bupati Ali Mukhni yang saya lontarkan via medsos.
Jujur seketika nurani saya meradang tatkala mendengar pengumuman oleh pihak rumah sakit mengumumkan jikalau pelayanan untuk 6 dokter spesialis dihentikan. “Bapak-ibuk semua pasien RS Paritmalintang pelayanan kita hari ini tutup untuk 6 dokter spesialis karena yang bersangkutan sudah pindah ke BKD,” ucap mereka yang saat itu saya berada di ruangan medis spesialis mata memonitor keadaan RS.
Sontak suasanapun jadi gaduh. Pasien-pasien yang menunggu lama sedari jam 6 pagi meronta, suasana semakin tak kondusif ketika tangis pasien lansia serta beberapa tenaga medis pecah akibat mereka yang membutuhkan penanganan intensif terabaikan.
Dalam keadaan sadar tak sampai hati saya menyaksikannya. Akan hal itu, sekelebat saya mencoba menghubungi beberapa pejabat yang bertugas di OPD-OPD terkait sesuai kapasitas. Seperti menghubungi Kepala Dinas Kesehatan Aspinudin yang pada saat itu juga Plt. Direktur RS tak ada jawaban. Begitupun dengan Ajudan Bupati Masrudi Suryanto (karena setau saya hp Bupati Ali Mukhni beliau yang pegang), hal yang sama juga berlaku (tak ada jawaban). Tak ubahnya pula dengan Kabag Humas Andri Satria yang sudah saya hubungi sebanyak 3 kali, nada sambungnya masuk tapi tak diangkat.
Opsi terakhir barulah saya menghubungi Wakil Bupati Suhatri Bur, panggilan seluler saya diangkat. Tak banyak cakap, di awal perbincangan saya langsung memohon tuntutan agar pelayanan di rumah sakit dilanjutkan.
“Ciak, pelayanan di RS Paritmalintang sekarang terhenti karena 6 SK dokter spesialis ditarik ke BKD. Kebijakan semacam apa ini namanya, bahkan penggantinya pun tidak ada. Yang berobat di RS sekarang ini orang (manusia) Ciak, bukan bin*tang. Saya tidak mau tau, Aciak harus datang ke sini,” ujar saya meradang kepada Aciak Suhatri Bur (panggilan saya kepada wabup). Dan dia pun menyanggupi permintaan saya untuk datang ke RS yang ketika itu Suhatri Bur sedang dalam rapat.
Satu jam berlalu, kendati tidak ada tanda-tanda wabup datang ke RS menengarai persoalan. Saya pun kembali menghubungi beliau lagi, dengan ucapan permohonan dan nada yang sama, begitu jua dengan jawaban yang saya dapatkan dari wabup. “Iya saya ke sana,” cetusnya saya singkat.
Namun justru saya bertemu Aciak di luar lokasi RS di sebuah rumah makan (beberapa petak ruko sebelah kanan RS dari arah IKK ke Lubuk Alung), sewaktu saya hendak mau bertolak pulang, dalam keadaan gagal mengakomodasikan dan memperjuangkan nasib pasien yang terlantar saat itu, dan juga seluruh lapisan masyarakat pada umumnya.
Panjang lebar pemaparan wabup ketika itu menjelaskan awal dari persoalan yang menjadi pemicu kejadian. Saya tidak pedulikan itu. Yang saya tekankan: pemda yang seharunya bijak mengurai persoalan malah sebaliknya, mengabaikan sisi pelayanan dan kemanusiaan. Harusnya ketika memutasikan 6 dokter spesialis ini ke BKD, bupati memikirkan pengganti tenaga kesehatan dengan standar kompetensi yang sama sesuai dengan kapasitas ilmu medisnya.
Di situ jujur, saya sedih mendengar jawaban dari Aciak seakan Pemkab Padang Pariaman lepas tangan, dia berujar. “Pengganti 6 dokter spesialis yang dipindahkan sedang kita bicarakan bersama IDI,” ucapnya enteng.
Tak lupa sebelum pulang sembari menunggu kedatangan wabup, saya pun menghubungi Ketua DPRD Padang Pariaman Faisal Arifin, saya memohon agar dia memperjuangkan nasib masyarakat Padang Pariaman khususnya dan seluruh pasien dan calon pasien pada umumnya yang sewaktu-waktu membutuhkan pertolongan medis. Dia pun bersedia mengakomodir permintaan saya dengan membawa persoalan ini secara kelembagaan. “Barusan saya juga dapat info seperti Ikhlas sampaikan. Saya akan perjuangkan di lembaga,” sebut Faisal.
Saya tidak tau bagaimana kejadian selanjutnyanya seandainya usul pasien-pasien di RS Paritmalintang meminta agar mereka dibawa berobat ke kantor bupati (IKK), yang jaraknya hanya beberapa kilo saja karena dokter spesialis yang mengobati mereka pindah ke sana, terakomodir? “Pak, bagaimana kalau kita (pasien) yang diterlantarkan ini mendatangi kantor bupati untuk berobat ke sana?” Usul beberapa pasien. “Iya pak.., kami setuju.., kami bersedia pergi ke sana!!” Celetuk pasien lainnya lantang dengan serentak menyetujui usulan tersebut.
Tetapi sayang, Bupati Ali Mukhni beruntung. Pasalnya, 3 mobil ambulans yang terparkir di halaman parkir rumah sakit, tidak ada yang bersedia mengantarkan para pasien tadi ke kantor bupati.
Bahkan lebih nahas lagi sampai sekarang belum ada yang menggantikan 6 dokter spesialis yang sampai sekarang masih di BKD-kan itu. Sekalipun ada beberapa, mereka (dokter) yang menggantikan tidak sesuai dengan standar kompetensi keilmuan medis yang setara dengan dokter spesialis yang dipindahkan.
Konon informasi yang saya gali berdasarkan keterangan dari salah satu dokter spesialis dan info lainnya dari beberapa sumber (pihak rumah sakit) meyatakan. Surat izin praktek pun mereka (dokter pengganti) tak punya. Posisi dokter yang menggantikan itu tidak punya surat izin praktek (SIP). Tetapi karena secara kemanusiaan, para dokter-dokter spesialis yang di BKD-kan mau berbesar hati meminjamkan SIP, demi pelayanan dan kemanusiaan. Lagipun jadwal pelayanan yang diberikan oleh dokter pengganti tidak seperti biasanya (normal). ***
Discussion about this post