TANAH DATAR – Sidang pertama gugatan praperadilan jilid II yang diajukan Pemohon seorang wartawan media online nasional asal Kabupaten Tanah Datar Joni Hermanto dengan Termohon Kapolda Sumbar terkait tindakan polisi dari Polsek Lima Kaum yang tidak melakukan penahanan terhadap tersangka penganiayaan yang merupakan seorang residivis yang digelar, Selasa (02/08).
Sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Batusangkar dengan hakim tunggal Apri Yeni Asni Bawamenewi, S.H. dengan perkara nomor : 2/Pid.Pra/2022/PN Bsk beragendakan pembacaan surat gugatan oleh Pemohon.
Dalam surat gugatan Pemohon Joni Hermanto memahami bahwa permohonannya bukanlah objek praperadilan, namun Joni berharap hakim bisa melahirkan yurisprudensi dengan menciptakan terobosan hukum baru.
Menurut Joni, dalam praktek peradilan, hakim telah beberapa kali melahirkan/melakukan penemuan hukum terkait dengan tindakan-tindakan lain dari penyidik/penuntut umum yang dapat menjadi objek Praperadilan.
Beberapa tindakan lain dari penyidik atau penuntut umum, antara lain penyitaan dan penetapan sebagai tersangka, telah dapat diterima untuk menjadi objek dalam pemeriksaan Praperadilan.
“Sebagai contoh Putusan Perkara Praperadilan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/PN.Bky., tanggal 18 Mei 2011 Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor : 88 PK/Pid/2011 tanggal 17 Januari 2012, yang pada intinya menyatakan tidak sahnya penyitaan yang telah dilakukan. Terkait dengan sah tidaknya penetapan tersangka, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam dua perkara Praperadilan Nomor : 38/Pid.Prap/2012/ PN.Jkt-Sel. dan Nomor : 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel telah menerima dan mengabulkan permohonan Praperadilan dengan menyatakan antara lain ”tidak sah menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai
Tersangka”,” ucap Joni membacakan surat gugatannya di ruang sidang PN Batusangkar, Senin (02/08).
Joni menambahkan bahwa beberapa contoh putusan Praperadilan tersebut tentunya dapat dijadikan rujukan dan yuriprudensi dalam memeriksa perkara Praperadilan atas tindakan penyidik/penuntut umum yang pengaturannya di luar ketentuan Pasal 77 KUHAP.
“Tindakan lain yang salah/keliru atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh penyidik/penuntut umum, tidak dapat dibiarkan tanpa adanya suatu kontrol dan koreksi. Jika kesalahan/kekeliruan atau pelanggaran tersebut dibiarkan, maka akan terjadi kesewenang-wenangan yang jelas-jelas akan mengusik rasa keadilan serta tatanan hukum yang ada,” lanjutnya.
Sementara saat ditemui usai sidang, Joni menduga bahwa penyidik tidak berani menahan tersangka karena pengaruh tersangka yang begitu besar.
“Segitu besarnya kah pengaruh tersangka sehingga penyidik memberi perlakukan istimewa terhadapnya?, dimanakah penyidik memposisikan rasa keadilan bagi saya atau masyarakat secara umum selaku korban? Jangan dengan berlindung di balik kewenangan penyidik bisa berlaku semena-mena,” imbuh Joni.
Menurut Joni ruang lingkup praperadilan sejatinya telah dibatasi dalam ketentuan Pasal 77 KUHAP, namun ternyata perkembangan hukum akhir-akhir ini telah menerobos batas-batasan tersebut dan bahkan mendahului pembahasan Rancangan KUHAP.
“Perkembangan hukum merupakan wujud nyata dari implementasi teori responsif yang menguraikan hukum sebagai suatu sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi-aspirasi masyarakat. Perluasan ruang lingkup praperadilan khususnya mengenai penetapan tersangka telah dimulai sebelum keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014,” tukasnya.
Dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut, diputuskan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf A KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. “Begitu juga dengan tindakan penyidik yang tidak melakukan penahanan terhadap tersangka untuk perkara yang dapat dilakukan penahanan tanpa melalui prosedur hukum yang benar diharapkan bisa menjadi ruang lingkup Praperadilan. Adapun salah satu pertimbangan hukumnya hal itu adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan hak hukum bagi saya karena adanya potensi mengulangi perbuatan yang akan dilakukan oleh tersangka terhadap saya, maka seharusnya tindakan penyidik itu merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata Praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi hak hukum saya dari tindakan sewenang-wenang penyidik serta tindakan pengulangan perbuatan oleh tersangka,” ujarnya.
Selain telah melayangkan gugatan praperadilan, Joni juga akan melaporkan semua penyidik yang ia nilai semena-mena itu ke Kabag Wassidik Dirkrimum Polda Sumbar dan Kepala Biro Wasidik Mabes Polri.
“Saya memang bukan pengacara, pratiksi hukum dan orang yang tahu banyak tentang hukum, tapi itu bukan berarti menutup celah bagi saya untuk mengguncang dunia peradilan dengan lahirnya sejarah baru/terobosan hukum baru/yurisprudensi yang akan diputuskan oleh hakim,” tutupnya. (Spa)
Discussion about this post