Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025, yang resmi bergulir Mei-Juni ini di bawah payung hukum Permendikdasmen Nomor 3 Tahun 2025, digadang sebagai instrumen penyempurnaan dari mekanisme PPDB sebelumnya.
Desainnya menjanjikan pemerataan akses melalui skema jalur domisili, afirmasi, hingga pengakuan prestasi non-akademik.
Pertanyaan esensial yang mengemuka adalah: mampukah SPMB 2025 bertransformasi dari sekadar reformasi administratif menjadi akselerator nyata menuju pendidikan yang inklusif dan non-diskriminatif, sebagaimana amanat konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024?
Janji, Realitas Disparitas
Optimisme pemerintah terhadap SPMB 2025 untuk mewujudkan “Pendidikan Bermutu untuk Semua” tercermin dari peningkatan kuota jalur afirmasi hingga 30% untuk jenjang SMA.
Langkah ini merupakan progresivitas substantif dalam mengakomodasi keluarga miskin dan penyandang disabilitas.
Implementasi sistem domisili yang berbasis jarak riil rumah-sekolah diharapkan meminimalisir manipulasi data alamat, sementara transparansi daya tampung dan akreditasi daring patut diapresiasi sebagai upaya akuntabilitas.
Di balik janji-janji tersebut, realitas disparitas pendidikan nasional masih menantang. Data BPS 2023 yang menunjukkan 4,2 juta anak Indonesia tidak bersekolah adalah indikator kritis kegagalan sistemik.
Mayoritas dari mereka belum pernah merasakan bangku sekolah atau terpaksa putus di tengah jalan.
Hal Ini kontras tajam dengan populasi peserta didik nasional pada tahun ajaran 2024/2025 yang mencapai lebih dari 52,6 juta siswa di semua jenjang. Sekitar 23,9 juta siswa SD, 10 juta siswa SMP, 5,3 juta siswa SMA, dan 4,9 juta siswa SMK.
SPMB, seprogresif apa pun, tidak akan sepenuhnya merespons isu fundamental ini jika akar persoalan aksesibilitas dan keberlanjutan pendidikan belum terintegrasi dalam kerangka kebijakan yang holistik dan komprehensif.
Dilema Jalur Prestasi
Inovasi SPMB 2025 yang mengakui prestasi non-akademik secara lebih luas merupakan langkah positif dalam mengembangkan bakat siswa. Tetapi, alokasi kuota jalur prestasi yang mencapai 30% berpotensi menghidupkan kembali fenomena “sekolah favorit” dan memicu kompetisi yang tidak seimbang.
Ketika sekolah-sekolah unggulan didominasi oleh siswa berprestasi melalui jalur ini, sekolah lain yang mengandalkan jalur domisili, seringkali dengan kualitas infrastruktur dan tenaga pendidik yang minim, akan semakin tertinggal.
Ini dapat menciptakan “efek magnetik” di mana institusi tertentu terus menjadi incaran, sementara yang lain kesulitan mendapatkan input siswa berkualitas.
Konsekuensinya, alih-alih pemerataan, kita berisiko menyaksikan segregasi kualitas pendidikan yang lebih tajam dan formalistik, bertentangan dengan semangat inklusivitas.
Amanat Konstitusi: Pendidikan Gratis
Kunci utama bagi kredibilitas SPMB 2025 adalah kemampuannya menafsirkan dan mengimplementasikan secara penuh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024.
Putusan ini secara tegas menyatakan bahwa frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 Ayat (2) UU Sisdiknas wajib mencakup sekolah negeri dan swasta (SD/SMP/madrasah).
Keputusan MK itu adalah koreksi konstitusional terhadap diskriminasi sistemik, di mana keterbatasan daya tampung sekolah negeri memaksa 173.265 siswa SD dan 104.525 siswa SMP pada 2023/2024 masuk ke sekolah swasta dengan beban biaya.
MK menegaskan, Pasal 31 Ayat (2) UUD 1945 mewajibkan negara membiayai pendidikan dasar tanpa diskriminasi jenis sekolah, kecuali untuk sekolah swasta elite tertentu yang secara independen tidak memerlukan subsidi negara.
SPMB 2025 merupakan platform strategis pertama untuk mewujudkan amanat ini. Integrasi sekolah swasta mitra ke dalam platform SPMB online menjadi krusial untuk transparansi dan kesetaraan akses, sebagaimana dicontohkan oleh SPMB Bersama 2025 di DKI Jakarta yang menyediakan kursi di ratusan sekolah swasta dengan pembiayaan penuh pemprov.
Cara ini menuntut skema pendanaan yang jelas dari APBD/APBN untuk menanggung uang pangkal dan SPP siswa di swasta mitra, disertai kriteria kelayakan sekolah yang ketat.
Kuota jalur afirmasi SPMB harus diperluas secara proporsional, memastikan siswa di swasta mitra tidak dibebani biaya.
Pemerintah juga harus mempercepat regulasi turunan yang komprehensif, mengatur kriteria sekolah swasta mitra, skema pendanaan yang berkelanjutan, hingga mekanisme sanksi atas pelanggaran.
Strategi Solutif Komprehensif
Jadi, sudah saatnya kita menggeser fokus. Kita tidak bisa lagi hanya berkutat pada mekanisme penerimaan siswa.
Kesenjangan infrastruktur pendidikan yang nyata, terutama di daerah 3T yang terdepan, terluar, dan tertinggal, adalah hambatan fundamental.
Banyak sekolah di sana masih jauh dari kata layak, minim fasilitas vital seperti laboratorium, perpustakaan, bahkan akses internet.
Bagaimana mungkin kita bicara digitalisasi SPMB dan pembelajaran berbasis teknologi kalau fondasi dasarnya saja belum terbangun?
Maka, penanganan masalah ini harus lebih dari sekadar tambal sulam; kita butuh pendekatan yang holistik, menyeluruh.
Pertama, kita harus memastikan pemerataan infrastruktur pendidikan. Ini berarti pemerintah harus berinvestasi besar-besaran, dengan alokasi anggaran khusus yang tepat sasaran, untuk membangun, merenovasi, dan melengkapi setiap sekolah di daerah 3T.
Pastikan ada akses internet yang memadai dan listrik yang stabil, sehingga setiap anak, di mana pun mereka berada, punya lingkungan belajar yang layak dan modern.
Selanjutnya, jalur afirmasi harus lebih dari sekadar kuota. Kita perlu memperkuat program afirmasi berbasis kualitas. Ini berarti memberikan pendampingan berkelanjutan dan beasiswa yang nyata bagi siswa dari keluarga miskin.
Sekolah yang menerima mereka juga harus didukung penuh untuk meningkatkan kualitas pengajaran, memastikan anak-anak ini tidak hanya diterima, tetapi juga bisa berkembang dan meraih potensi terbaiknya.
Kemudian, kolaborasi dengan sektor swasta harus menjadi tulang punggung yang berkelanjutan. Model sukses di DKI Jakarta yang melibatkan ribuan sekolah swasta untuk pendidikan gratis harus direplikasi secara nasional.
Pemerintah harus mampu menggandeng sekolah-sekolah swasta dengan insentif yang menarik, agar mereka bersedia menampung siswa dari keluarga kurang mampu tanpa biaya, sejalan dengan amanat Mahkamah Konstitusi.
Ini adalah kunci untuk memperluas kapasitas pendidikan gratis kita.
Tak kalah penting, Program Indonesia Pintar (PIP) harus dioptimalkan. Dana tunai yang diberikan (Rp450.000-Rp1 juta/tahun) harus benar-benar mencakup seluruh biaya non-tuition siswa, mulai dari seragam, buku, hingga transportasi.
Edukasi masif kepada masyarakat juga krusial agar mereka paham dan memanfaatkan PIP secara maksimal, memastikan tidak ada lagi anak yang putus sekolah karena kendala biaya di luar SPP.
Tentu saja, kita tidak bisa melupakan kualitas guru. Pemerataan pendidikan bukan hanya soal fisik bangunan, tapi juga kualitas pengajarnya.
Program pelatihan guru harus digencarkan, terutama di pelosok. Kurikulum juga harus adaptif, relevan dengan kebutuhan lokal dan perkembangan zaman, sehingga siswa kita menerima pendidikan yang benar-benar bermutu, bukan sekadar transfer ilmu yang usang.
Terakhir, kita perlu meluncurkan gerakan nasional “Sekolah untuk Semua. Mengambil inspirasi dari usulan KPAI, pemerintah harus mendorong integrasi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan program pendidikan kesetaraan lainnya.
Langkah ini vital untuk menjangkau 4,2 juta anak yang masih di luar sistem sekolah, memastikan tidak ada satu pun anak Indonesia yang tertinggal dan tidak mendapatkan hak pendidikannya.
SPMB 2025: Arah Baru
Putusan MK adalah koreksi konstitusional atas diskriminasi sistemik di pendidikan dasar. SPMB 2025 menjadi momentum strategis untuk menghilangkan hambatan ekonomi bagi jutaan anak, termasuk 4,2 juta yang masih di luar sistem sekolah.
Peristiwa ini memperkuat peran negara sebagai penjamin hak pendidikan, dan membangun ekosistem pendidikan inklusif di mana “sekolah rakyat” dan “sekolah elit” tak lagi relevan. Pendidikan gratis adalah pemenuhan hak dasar yang harus disertai kurikulum berkualitas dan bebas diskriminasi.
SPMB 2025 adalah cerminan niat baik pemerintah untuk meratakan akses pendidikan. Akan tetapi, niat baik saja tak cukup. Dibutuhkan langkah konkret dan komprehensif, melibatkan semua pemangku kepentingan—pemerintah, sekolah, guru, orang tua, masyarakat, dan sektor swasta—untuk mengatasi ketimpangan fundamental yang masih ada.
Hanya dengan begitu, “Pendidikan Bermutu untuk Semua” akan menjadi realitas bagi setiap anak Indonesia, dan SPMB 2025 akan menjadi akselerator perubahan substantif, bukan sekadar reformasi parsial.
Discussion about this post