Hari ini kita melihat terjadinya berbagai macam musibah di berbagai tempat. Termasuk di Sumatera Barat. Ada beberapa sikap manusia ketika terjadi musibah yang menimpa orang lain. Ada sebagian yang ketika orang lain mendapatkan musibah. Dia justru bersikap sinis, menyalahkan orang yang terkena musibah. Dengan menuduh, memvonis dan mengatakan orang yang terkena ini pasti karena dosanya. Bukannya berempati. Ada pula yang seakan merasa senang ketika orang lain terkena musibah. Mungkin karena orang yang terkena musibah adalah orang yang dia benci/tidak sukai, sehingga gembira ketika melihat orang tersebut mendapatkan musibah. Bahkan ada pula yang mengait-ngaitkan musibah yang menimpa karena masalah politik. Astaghfirullah al azhim.
Jika kita lihat dari kacamata ilmu psikologi atau kejiwaan manusia, inilah tipe orang seperti kata Daniel Goleman yang rendah kecerdasan emosinya. Padahal kecerdasan emosi ini menurut penelitian Goleman dalam buku best seller Emotional Intelligence, kecerdasan emosi menentukan mayoritas kesuksesan dan kebahagiaan manusia. Kecerdasan intelektual setelah diteliti hanya menentukan 5-10% saja kesuksesan manusia. Sedangkan inti dari kecerdasan emosional adalah kemampuan mengendalikan emosi dan mampu merasakan emosi atau perasaan orang lain atau yang disebut dengan empati.
Rasulullah SAW juga mengajarkan kita tentang empati ini, sebagaimana hadist beliau bahwa antara muslim dengan muslim yang lainnya ibarat satu tubuh, jika yang satu sakit maka yang lainnya ikut merasakan. Dalam hadist lain beliau mengatakan bahwa seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lainnya. Dia tidak menzaliminya dan tidak membiarkan saudaranya terzalimi.
Orang yang menyalahkan orang yang terkena musibah, seakan dia orang yang pasti tahu bahwa orang lain yang terkena musibah atau ujian itu adalah semata karena dosa dan kesalahan mereka. Betulkah asumsi demikian? Orang yang beriman dan tidak berpenyakit hati, maka tidak akan mudah memvonis seperti itu. Karena dia khawatir, kalau dia menuduh orang lain dengan tuduhan yang tidak benar maka akan kembali pada dirinya.
Penyakit hati seperti iri dan dengki termasuk yang berbahaya bagi manusia. Karena amalnya akan menjadi seperti daun dimakan ulat atau hangus terbakar. Sederhananya iri dan dengki adalah lawan dari empati. Empati itu artinya secara sederhana “sedih ketika orang lain sedih dan senang ketika orang lain senang”. Sedangkan iri dan dengki yaitu senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang atau dikenal juga dengan istilah penyakit “SMS”.
Orang beriman menyadari bahwa semua musibah terjadi atas kehendak/izin Allah (QS At Taghabun : 11). Terjadinya kerusakan di darat dan laut akibat perbuatan tangan manusia QS Ar Ruum : 41. Allah Maha Tahu hikmah di balik itu semua. Musibah bisa merupakan ujian untuk meningkatkan derajat manusia. Artinya orang yang terkena musibah bisa jadi lebih tinggi derajatnya. Allah SWT berfirman dalam Al Quran ketika manusia diuji dengan rasa takut, kekurangan harta, jiwa dan makanan maka berikanlah kabar gembira pada orang-orang yang sabar, yaitu ketika ditimpa musibah mereka berzikir “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un“. Merekalah orang yang mendapatkan shalawat dari Allah, kasih sayang-Nya dan merekalah orang yang beruntung (Surat Al Baqarah : 155-156) dengan syarat mereka bersabar.
Sebagai contohnya apakah berani kita katakan musibah dahsyat hari ini yang menimpa saudara kita di Palestina karena kekejaman penjajah Yahudi laknatullah terjadi karena dosa dan kesalahan penduduk Palestina? Mereka yang tertindas dan terzalimi karena negeri mereka dijajah dan mereka diusir dan dibunuh oleh Israel. Puluhan ribu korban melayang dari anak-anak dan orang tua. Apakah itu bisa kita tuduh karena dosa mereka? Memang tukang tuduh ini selalu ada. Mereka yang menyalahkan rakyat Palestina karena melawan pada Israel. Tapi kita bertanya dimana letak hati nurani mereka? Sudahlah penduduk Palestina dizalimi dan mendapatkan ujian yang berat dari Allah, tapi mereka pula yang disalahkan. Astaghfirullah al azhim.
Kemudian yang kedua, musibah itu merupakan teguran dari Allah atau merupakan azab Allah SWT bagi kaum yang engkar dan pendosa. Allah SWT menjelaskan dalam al Qur’an sejarah manusia yang engkar pada-Nya lalu diazab agar menjadi pelajaran. Kalau di suatu kaum sudah merajalela maksiat dan sudah melampaui batas maka mereka cepat atau lambat akan dibinasakan. Seperti Fir’aun yang kafir dan sombong dia dan seluruh pasukannya dibinasakan Allah. Atau seperti kaum sodom yang melakukan perbuatan zina sejenis yang sangat keji dan mungkar, yang binatang saja tidak melakukannya, maka seluruh kaum itu dibinasakan Allah secara merata.
Tapi selagi dalam kaum itu masih ada orang yang beriman, memohon ampun pada Allah dan ada yang mengingatkan atau berdakwah maka azab Allah akan ditahan. “Allah tidak akan menyiksa mereka selama kamu ada di tengah mereka. Dan Allah tidak akan menghukum mereka, sementara mereka memohon ampun.” (QS. al-Anfal: 33).
Pertanyaannya, siapakah manusia yang bisa pasti tahu apakah ini ujian ataukah azab dari Allah SWT? Tidak ada yang tahu kecuali hanya Allah. Kalau ada manusia yang menuduh orang yang terkena musibah adalah semata-mata azab maka dia telah melampaui batasnya. Berhati-hatilah dengan tuduhan dan vonis pada manusia, karena kata Nabi SAW ketika engkau menuduh saudaramu kafir, maka tuduhan itu akan menimpa pada salah seorang di antara mereka. Jika saudaranya itu tidak kafir seperti yang dia tuduh maka tuduhan itu akan kembali pada yang menuduh. Seperti ada yang menuduh Ustadz Adi Hidayat kafir hanya karena berbeda pendapat masalah musik. Na’uzubillahiminzalik.
Berhati-hatilah dengan dosa lisan. Banyak manusia tergelincir ke neraka karena tidak menjaga lisan. Pepatah mengatakan mulutmu adalah harimaumu yang akan memakanmu sendiri. Jika tidak mampu berkata baik maka diamlah sebagaimana sabda Nabi SAW.
Apalagi bagi seorang da’i atau juru dakwah. Jangan mudah memvonis orang lain, termasuk yang terkena musibah atau bencana ini semata-mata karena dosa mereka. Serahkan semuanya pada Allah SWT, tugas da’i mengingatkan agar manusia bertaubat dan kembali pada Allah jika berbuat kesalahan. Karena sebagaimana kata ulama : Nahnu duat laa qudhat. Bahwa kita adalah seorang da’i bukan hakim. Tugas da’i mengajak manusia yang tidak beriman agar beriman. Mengingatkan manusia yang lupa agar ingat pada Allah SWT. Dai bukan seorang hakim yang tugasnya memvonis ini salah, ini kafir, ini haram, ini bid’ah dan sebagainya.
Sikap yang baik ketika saudara kita terkena musibah meskipun orang yang kita benci sekali pun. Tugas kita adalah berbela sungkawa dan berempati lalu mendoakan saudara kita yang sedang terkena musibah. Urusan ujian atau azab itu adalah urusan dia dengan TuhanNya bukan dengan kita.
Sikap yang lebih mulia dan terbaik adalah tidak sebatas berbela sungkawa dan turut berdukacita tapi ikut membantu saudaranya yang terkena musibah dengan kemampuan yg bisa dia lakukan. Dengan sedekah melalui orang lain/lembaga kemanusiaan atau turun tangan langsung membantu mereka yang terkena musibah. Itulah sikap orang beriman. Wallahu alam bisshawab.
Discussion about this post