Pada tahun 2004 dilaksanakanlah Pemilu yang paling demokratis untuk pertama kalinya dimana presiden langsung dipilih oleh rakyat. Pada Pemilu ini Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih sebagai Presiden ke enam Republik Indonesia. Dengan keberhasilan Pemilu ini Indonesia dinobatkan menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Dimasa pemerintahan SBY inilah demokrasi berada di rel-nya dimana apa yang dicita-citakan dan diamanatkan oleh reformasi, SBY berhasil melaksanakannya diantaranya adalah reformasi birokrasi, dan reformasi TNI/POLRI dan penghormatan terhadap hak azazi manusia serta melindungi kebebasan sipil baik berkumpul maupun menyatakan pendapat. Selama satu dekade pemerintahan SBY mengalami hujan kritik dan demonstrasi selalu terjadi, apapun kebijakan yang diambil oleh pemerintah selalu mendapat perlawanan dari “oposisi” serta aktivis maupun kelompok masyarakat. Tapi semua itu dipahami SBY sebagai romantika dan dinamika dari politik dan demokrasi. Walaupun dikritik setiap saat namun program dan kebijakan pemerintah tetap berjalan pembangunan dan upaya untuk mensejahterakan rakyat terus dilakukan. Hukum dijalankan tanpa pandang bulu termasuk orang-orang pemerintahan jika melanggar tetap akan ditindak. Peralihan pemerintahan di akhir masa jabatan SBY berjalan mulus.
Pada Pilpres tahun 2014 terpilihlah Ir Joko Widodo (Jokowi) menjadi Presiden ke tujuh Republik Indonesia. Suksesi kepemimpinan ini berjalan mulus tanpa konflik dan ini tercatat dalam sejarah dimana suksesi kepemimpinan tidak diwarnai oleh konflik tetapi melalui pemilu yang jujur dan adil dan sesuai dengan konstitusi.
Pertanyaannya, mengapa penulis harus mengangkat tema “Reformasi dan Perjuangan Selamatkan Demokrasi”? Sebagai pelaku sejarah reformasi yang walaupun penulis tidak berada di jajaran elitnya, tapi penulis juga mengamati perkembangannya. Untuk itu penting rasanya penulis mengingatkan bahwa Reformasi yang dilahirkan pada tahun 1998 “hampir” meleceng dari tujuan yang dicita-citakan semula yakni, Demokrasi dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia utamanya hak untuk berkumpul dan menyatakan pendapat.
Kita tahu di masa awal Pemerintahan Jokowi cukup menghormati hak-hak sipil, akan tetapi di akhir masa jabatan periode pertama pembungkaman terhadap kebebasan berkumpul dan berpendapat kasat mata sekali dilakukan. Dengan dalih melanggar undang-undang khususnya ITE rejim seringkali berperilaku tidak adil terhadap warga negara khususnya pihak-pihak yang kritis dan berseberangan dengan pemerintah. Entah apa alasannya akan tetapi penulis menilai ini satu bentuk dari sikap untuk mempertahankan jabatan walaupun berpotensi melanggar HAM.
Di periode kedua Pemerintahan Jokowi penulis menilai justru rejim lebih represif dalam membungkam suara-suara kritis. Telah banyak korban aktivis yang berupaya dicarikan deliknya dengan tujuan untuk mematikan kritik. Dalam hal inilah penulis menilai praktik yang dilakukan “hampir” melenceng dari cita-cita reformasi, untuk itu penulis mengajak semua anak bangsa mengingatkan pemerintah akan tujuan utama dari reformasi yakninya menghormati kebebasan sipil bukan membungkam.
Dalam catatan selanjutnya penulis juga mengamati perkembangan perpolitikan saat ini di mana kekuasaan telah membangun oligarkhi politik, hal itu terlihat sangat jelas sekali pemerintah hanya mementingkan kelompok atau koalisinya, dan penulis melihat presiden sangat wellcome sekali dengan praktik demikian, sungguh miris sekali.
Demokrasi hakikinya adalah daulat rakyat, harus rakyat yang lebih diutamakan bukan kelompok-kelompok pendukung dari kekuasaan. Untuk itu penulis sangat menghargai sikap partai yang berada di luar kekuasaan untuk tetap terus “Berkoalisi dengan Rakyat”.
Untuk itulah sekali lagi penulis mengingatkan kepada seluruh komponen anak bangsa untuk tetap berada di gerbong “Reformasi dan Berjuang Selamatkan Demokrasi”.
Penulis tidak menginginkan pembungkaman terhadap suara-suara kritis ini ibarat api dalam sekam yang sewaktu-waktu akan membesar dan mengakibatkan konflik yang akan merugikan kita sebagai bangsa.
Discussion about this post