Oleh: Drs. Idarussalam, Tk. Sutan (Ketua Yayasan Pembangunan Islam el-Imraniyah, Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan)
Hari ini, Jumat (27/3) adalah hari kedua sejak Prov. Sumbar dinyatakan sebagai daerah positif terpapar COVID-19. Oleh karena itu, berbagai tindakan pencegahan harus diambil secepat dan setepat mungkin.
Berbagai himbauan dan anjuran telah dikeluarkan oleh pihak-pihak yang berwewenang di bidangnya masing-masing.
Dari segi keagamaan, salah satu cara pencegahannya adalah himbauan untuk tidak melaksanakan salat Jumat; Jamaah; Pengajian; dan acara-acara keagamaan lainnya. Bagi kita masyarakat Sumatera Barat yang terkenal dengan ketaatan beragama, hal ini memang akan terasa aneh dan menyanggal di hati.
Tidak biasa-biasanya meninggalkan salat Jumat, tiba-tiba ada himbauan untuk diganti dengan salat Zuhur di rumah saja. Belum lagi tentang pengajian-pengajian yang harus tertunda. Israk-Mikraj misalnya, meski sudah meninggalkan bulan Rajab, masyarakat Sumbar biasanya masih memperingati Israk-Mikraj.
Namun hal ini juga harus rela dikorbankan. Bahkan, ribuan santri-santriwati Pesantren/Surau pun harus rela tidak tatap muka dengan guru-gurunya lantaran hal ini. Sungguh hal yang sangat sulit diterima sebenarnya.
Lantas, sudah bijakkah kita menerima hal itu semua? Melalui tulisan ini saya ingin sedikit berbagi tentang pandangan saya mengenai hal-hal di atas.
Sebelumnya saya ingin berbagi tentang motivasi pentingnya berusaha melawan semua wabah ini. Allah Swt berfirman dalam Surat An-Najm : 39 & 40, “Dan bahwa manusia hanya akan memperoleh apa yang diusahakannya, dan usaha itu kelak akan diperlihatkan”.
Ayat ini menjelaskan bahwa kita akan mendapat apa yang kita usahakan. Oleh sebab itu, dalam kasus wabah ini, kita harus bersama-sama berusaha maksimal melawan wabah ini, agar kelak Allah Swt menghitung kita sebagai orang-orang yang telah berusaha keras menghindar. Sehingga, Allah jauhkan kita dari segala marabahaya.
***
Sebuah kaidah Fiqih (Hukum Islam) menyatakan, bahwa “menolak kemudharatan harus didahulukan dari melakukan kebaikan”. Artinya, salat Jumat, Jamaah, Pengajian, dll memang perbuatan baik, tapi kalau itu bisa menyebabkan semakin tersebarnya virus ini (mudharat), maka kita harus menghindari hal-hal itu dulu.
“Tapi, kan salat Jumat itu (bagi laki-laki) wajib hukumnya?” Ya. Hukum asalnya memang wajib. Tapi dalam Islam, setiap hukum harus mempertimbangkan lima tujuan utama (Maqashid Syariah), salah satunya adalah; MENJAGA DIRI (hifzhun nafsi), salah satu bentuk menjaga diri ini adalah menjaga kesehatan. Oleh sebab itu, setiap ibadah yang dilakukan harus mempertimbangkan hal itu. Tak ada ibadah yang boleh dilakukan kalau harus mengorbankan diri dan kesehatan si pelakunya.
Lalu, ada yang bilang, “Saya kan masih sehat-sehat saja, saya bisa pakai masker, hand-sanitizer, dll”. Ya, benar. Tapi seperti yang disampaikan pakar-pakar virus ini, virus ini tidak otomatis menampakkan gejala bagi penderitanya. Bisa saja seseorang sudah terkena virus, tapi karena imun tubuhnya kuat, dia tidak merasakan apa-apa, namun ketika dia melakukan kontak langsung dengan orang lain, mungkin-mungkin saja dia akan menyebarkannya kepada orang lain.
Bayangkan kalau orang terkena itu adalah sanak saudara kita yang berusia lanjut atau memiliki imun tubuh lemah. Jadi, mengindari kerumunan orang (seperti salat Jumat dan pengajian), tidak hanya berarti menghindar dari mencari penyakit, tapi juga berarti menghindar dari menyebarkan penyakit. Tentu kondisi ini akan sangat melanggar norma agama.
Dalam agama, kita sangat dilarang mencelakai orang lain. Kesimpulannya, seberat apapun hati untuk meninggalkan acara-acara keagamaan seperti salat Jumat dan yang lain, demi kemaslahatan kita bersama, tak ada salahnya menggantinya sementara waktu dengan salat di rumah, dan tetap di rumah saja dulu. Sekali lagi, demi kemaslahatan kita bersama.
Discussion about this post