Kita semua tau, sekarang itu tahun politik. Musim hasut-menghasut digencarkan untuk mencuri suara, dan itu mutlak. Wajarlah, namanya juga Pilkada.
Tak heran isu kriminalitas pun dikait-kaitkan sebagai bahan propaganda politik toko sebelah. Pokoknya semua dicari celah: dibully, diagitasi!
Contoh teranyar itu adalah kasus pembunuhan Nia di Kayu Tanam, Padang Pariaman. Kasus itu mendapat perhatian serius masyarakat luas, sebab kita sepakat mengutuk keras kasus pembunuhan Nia yang tergolong sadis tak manusiawi ini.
Jasad Nia ditemukan setelah 3 hari dinyatakan hilang, dan tiba-tiba ditemukan terkubur tanpa busana. Diduga kuat Nia adalah korban tindakan asusila dari 4 orang biadab yang dicurigai sebagai pelaku pembunuhan.
Jangankan untuk skala Padang Pariaman, atensi yang didapat dari kasus pembunuhan Nia ini turut disorot media-media mainstream nasional. Artinya se-Indonesia turut merasakan duka cita kepada Nia.
Sebab tak banyak ditemukan sosok anak gadis yang seperti Nia ini, diusianya yang mulai beranjak dewasa, ia tak segan mencari nafkah menghidupi keluarganya.
Kepribadian korban merupakan gadis yang elok (18 tahun) tulang punggung keluarga. Setiap hari kerjaannya membantu orangtua menjajakan gorengan keliling kampung.
Ia memendam cita-cita yang mulia. Ia ingin memperbaiki rumah gubuk yang sudah dibangunnya sendiri dari hasil berjualan durian, menjadi rumah layak huni untuk keluarga dan orangtuanya.
Selain itu Nia juga memiliki cita-cita ingin melanjutkan sekolah sampai ke perguruan tinggi. Namun kembali kita kepada hakikat sebagai makluk, kodratnya manusia. Bahwa kita hanya punya keinginan, cita-cita dan harapan, tapi takdir adalah milik yang Maha Kuasa.
Lantas apa yang salah ketika Bupati Padang Pariaman, Suhatri Bur melayat ke rumah duka? Realistis sajalah, jangan apa-apa dikaitkan ke politik, dipropaganda, itu bodoh namanya!
Apalagi ada yang menanyakan “ke mana Anda (bupati) ketika Nia masih hidup?” Saya katakan itu pertanyaan sampah! Maaf jika saya menggunakan diksi “sampah” dan “bodoh”.
Karena memang pertanyaan itu tak punya korelasi. Hanya berazaskan tendensi kebencian terhadap pribadi Suhatri Bur sebagai bupati. Tapi ya, sudahlah, itu kita maklumi.
Barangkali yang harus kita ingat, persoalan sosial ketika almarhumah Nia masih hidup adalah tanggungjawab kita bersama. Silahkan bantah, mau pakai dalil agama atau perspektif negara?
Secara hukum, fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang berbunyi: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Pengejawantahan dari Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 ini dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dalam bentuk penanganan fakir miskin, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam UU Fakir Miskin.
Sekarang pertanyaannya, apakah Pemerintah Daerah Kabupaten Padang Pariaman sudah melakukannya? Saya tegaskan, SUDAH!
Tapi kenapa ada Nia? Bung, warga negara seperti Nia itu banyak di negara ini. Bukan berarti bupati tidak peka. Buktinya Pemda selalu hadir dalam kehidupan Nia.
Melalui kewenangannya, Pemda Padang Pariaman, Suhatri Bur saat ini bupatinya, tercatat telah memberikan sejumlah bantuan kepada Nia dan keluarga. Sebut saja bantuan PKH, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Elnino, sembako dan mungkin juga beberapa bantuan lainnya.
Dengarkan baik-baik, keluarga Nia atas nama orangtua korban, Eli Marlina telah didaftarkan Pemda Padang Pariaman masuk ke dalam data DTKH. Berikut daftar bantuan yang diterima keluarga korban:
– Periode Oktober 2023 menerima Bansos PKH
– Periode November – Desember 2023 menerima BLT Elnino
– Periode Januari – Maret 2024 menerima Bansos PKH
– Periode Februari – Maret 2024 menerima Bansos Sembako
– Periode April – Juni 2024 menerima Bansos PKH
– Periode April – Juni 2024 menerima Bansos Sembako
– Periode Juli – September 2024 menerima Bansos PKH
– Periode Juli – September 2024 menerima Bansos Sembako
Dan ketika Nia sudah tiadapun, Bupati Suhatri Bur masih saja memberikan santunan kepada keluarga korban yang ditinggalkan. Suhatri Bur juga melanjutkan cita-cita Nia untuk memperbaiki rumah yang sudah dibangun almarhumah menjadi layak huni.
Terus apa yang sudah kita lakukan sewaktu Nia masih ada? Jangan hanya bisa membully, beragitasi lalu mempropagada isu ini sebagai senjata terhadap lawan politik.
Apa kita sudah tau, kehidupan Nia dalam perspektif agama adalah tanggung jawab kita jua. Hak Nia ada pada diri kita, apa kita peduli?
Tak bisa kita berlepas tangan begitu saja, lalu ujug-ujug melemparkan persoalan ini kepada bupati sebagai kewajiban personal. Jika ini yang kita lakukan, tak ayal perbuatan kita sama saja bejatnya layaknya para pelaku pembunuh Nia.
Tanya diri kita, apa yang sudah kita berikan kepada Nia?
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta, dan orang miskin yang tidak meminta.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 19).
Suhatri Bur sebagai bupati, yang notabene Nia adalah warganya, sudah mejalankan kewajibannya untuk melayat ke rumah Nia, baik mewakili pribadi ataupun sebagai bupati. Sudah sepantasnya Suhatri Bur memberikan perhatian kepada keluarga korban yang ditinggalkan, berharap bantuan moril yang diserahkan menjadi “sitawa sidingin” bagi keluarga korban yang ditinggalkan.
Lantas bagaimana dengan Anda? Sudahkan berkaca? Melayat saja tidak. Beragitasi pula. Kacau! **
Discussion about this post