Dharmasraya – Sesuai informasi yang didapatkan media ini, setidaknya kurang lebih seribu hetar perkebunan kelapa sawit Tunas Rimba dan nama lain agromasa diduga milik pribadi Kantoni yang terbentang di lokasi Ragusa, Kenagarian Koto Besar, Kecamatan Koto Besar, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat berbatas dengan Solok Selatan, diduga berada dalam kawasan hutan produksi (HP). Dengan demikian, instansi terkait terkesan melakukan indikasi pembiaran.
Sementara Titin salah seorang pegawai tetap perkebunan kelapa sawit Tunas Rimba, Jumat (21//4/2022) di kantornya menyebutkan, kebun kelapa sawit ini proses penanamannya di tahun 2004-2005, “Setau saya perkebunan ini sudah mengantongi Hak Guna Usaha (HGU), masalah terbitnya di tahun berapa saya memang nggak tau. Dan luas lahan ini cuma berkisar 150 hektar. Masalah lokasi dalam kawasan hutan produksi atau tidaknya saya nggak tau juga dan lagian wewenang saya tidak ada untuk menjawabnya. Sebaiknya konfirmasi saja dengan menejer pak Tris atau pak Memet selaku kordinator lapangan,” singkat Titin.
Terpisah kepala UPTD KPHP Dharmasraya Unit VIII, Pemerintah Provinsi Sumbar, Dinas Kehutànan Hendra Bakti Puntra, Jum’at (22/4/2022) sambil berlalu mengatakan, apabila perkebunan kelapa sawit Tunas Rimba itu tidak memiliki izin tentu jelas ilegal.
“Masalah lokasi dalam kawasan hutan atau tidaknya sudah satu tahun saya bertugas di sini tidak ada kok masyarakat melaporkan. Kalau bagi saya sepanjang itu tidak merugikan kepada masyarakat atau pemerintah kalau menurut saya boleh boleh saja. Tapi apabila perusahaan yang lengkap legalitasnya terdaftar di kantor kami seperti PT BRM itu baru di bawah kepengawasan kami, selagi perusahaan tidak terdaftar di dinas kami tentu jelas tidak ada wewenang kami untuk melakukan pengontrolan,” jawabnya Hendra Bakti Putra dengan nada tinggi.
Pahrevi dari Badan Penelitian Aset Negara.dari Lembaga Aliansi Indonesia Pusat (BPAN.L.A.I) menyikapi jawaban kepala UPTD KPHP Dharmasraya Unit VIII, Dinas Kehutanan Provinsi Sumbar. Dia mendiktekan ucapan kepala UPTD tersebut, seorang kepala UPTD mengatakan selagi tidak ada laporan dari masyarakat itu boleh boleh saja, “Kalau menurut saya itu adalah bahasa ngaur, atau kepala UPTD tersebut tidak memahami Undang Undang No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) itu kan salah satu pokok kinerja kehutanan,” tegas Pahrevi.
Dia pun menyorot keugalan bahasa oknum kepala UPTD tersebut yang juga disebut ngaur, menurutnya seorang kepala UPTD menyebut selagi tidak ada merugikan masyarakat dan pemerintah boleh boleh saja, “Itupun bahasa ngaur lagi, apabila hutan kawasan dialih fungsikan sesuai dengan prosedur harus diputihkan dulu. Jikalau itu tidak dilakukan oleh pemilik perkebunan tentu jelas tidak bisa diurus legalitasnya. Kalau tidak ada legalitas sudah pasti menimbulkan kerugian negara, kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup serta meningkatkan pemanasan global yang telah menjadi isu nasional regional dan internasional, sebab perusakan hutan itu suatu perbuatan kejahatan luar biasa,” terangnya menukilkan.
Harapan kita, lanjutnya, kepada Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumbar kedepannya harus ditingkatkan kenerjanya dengan cara profesional lagi, tutup Pahrevi. (arp)
Discussion about this post