Awak punya catatan kecil ihwal pengalaman pribadi di dua Pilkada terakhir. Pertama tahun 2018 di Kota Konyoha, dan berikutnya tahun 2020 di Kabupaten Padang Pariaman. Barangkali karena nasib di dua Pilkada itu, Paslon yang awak jagokan sama-sama belum beruntung.
Sebetulnya ini tentang cerminan sikap seseorang yang terpilih sebagai pemimpin. Yakni pemimpin Kota Konyoha yang punya pemimpin jumawa, dan satunya di Padang Pariaman yang benar-benar legawa, bak kesatria.
Baik, mungkin awak mulai di Padang Pariaman lebih dulu.
Pilkada Padang Pariaman tahun 2020 dimenangkan oleh Paslon nomor urut 1, bupati terpilihnya Aciak Suhatri Bur dan wakilnya Rahmang. Sementara ketika itu awak mengidolakan dan berjuang bersama Paslon nomor urut 3.
Kemenangan yang diraih Aciak dalam Pilkada, tak membuat Aciak berlaku jumawa. Bagi awak pribadi yang merasakan, Aciak tak pernah membuat jarak pada diri awak, yang bisa saja disebut lawan politiknya saat kompetisi berlangsung.
Padahal rivalitas yang terjadi pada kami waktu Pilkada sangatlah tajam. Sebagai rival, keniscayaan awak beragumen di media waktu Pilkada terbilang vulgar dan tendensius. Namun itu kami anggap adalah hal yang lumrah.
Karena setelahnya, sampai sekarang ini kami tak bahas lagi soal Pilkada serta dinamikanya. Bahkan di beberapa kali kesempatan awak pernah mendampingi agenda Aciak ke luar kota. Tak hanya itu, Aciak juga tak sungkan menjamu awak makan, baik di kediaman pribadi, di Pendopo Bupati maupun di luar.
Itulah kepribadian Aciak Suhatri Bur, Bupati Padang Pariaman. Yang pada akhirnya, sebagai awak media, kami sama-sama mendukung pembangunan menuju Padang Pariaman Berjaya.
Lain cerita di Kota Konyoha. Di mana pemimpin yang terpilih dalam Pilkada 2018 berjiwa jumawa. Namanya Wak Udin, sebenarnya kasihan awak dengan sikapnya itu. Sebagai pemimpin yang seharusnya merangkul, malah balik memukul.
Di sini awak tak sedang mengada-ada. Karena perbandingannya kontras. Sama seperti peristiwa di atas. Di Pilkada Konyoha tahun 2018 awak mendukung pasangan nomor urut 1, sementara Wak Udin memenangkan pertarungan dengan nomor urut 3.
Cenderung vulgar dan tendensius, itulah ciri khas awak menyikapi lawan politik saat Pilkada. Jika Bupati Padang Pariaman, Aciak Suhatri Bur legawa bak kesatria. Maka Wak Udin sebaliknya, bersikap jumawa. Tak terima “diserang” lawan politik kendati telah dilantik jadi walikota.
Suatu ketika, tak sengaja awak kepergok Wak Udin dan kolega di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Persis 4 bulan Wak Udin dilantik jadi walikota.
Kepergok, tak mungkinlah awak menghindar. Karena itu bukan sikap yang diajarkan oleh Rasulullah. Awak berusaha bertegur sapa dengannya.
Sikap pertama, biasa saja dijawabnya sapa awak, dan dibalasnya juluran tangan awak memberikan salam, sembari Wak Udin bertanya, “Kama, samo sia?” Tanya Wak Udin yang masih pekat terngiang di kepala awak.
Sontak awak pun menjawab, “Ka pulang Da. Awak sorang,” jelas awak. Padahal, di belakang ada beberapa orang keluarga yang mendampingi awak ikut ke bandara. Tapi Wak Udin dan kolega tak tau itu.
Alang kepalang, begitu terkejutnya awak ketika ia panggil dan susul satu persatu koleganya yang masih berada di dalam mobil.
Kepada kolega yang pertama dia menyeru, “Yot, Yot, ka marilah. Lai kenal jo paja ko a. Paja ko!” serunya dengan mengacungkan telunjuk ke arah awak. Luar biasa.
Tak cukup demikian. Agaknya Wak Udin belum puas. Kali ini Wak Udin ingin menumbuk awak. Bergegas ia mendekati mobilnya sambil berkata ke kolega yang kedua. “Da, ko paja anak Nareh yang basileperan muncuang e di pesbuk. Tumbuak e!” Sebut Wak Udin dengan mimik muka yang sudah seperti setan.
Tabiat Wak Udin tak mencerminkan perilaku seorang walikota terpilih. Kembali ia buka pintu mobil, di situ terperangah awak melihat seseorang berpakaian seragam jaksa. Wak Udin mengadu ke orang berseragam itu. “Nih, Nih, ko yang si Ikhlas namo e tu, banaman e, Nih,” kata Wak Udin yang ditanggapi dingin oleh koleganya yang ketiga ini.
Rupanya, yang dibahas oleh kolega Wak Udin yang kedua pada awak adalah masalah Pilkada Konyoha. Sudah selesai beberapa bulan, dan usia jabatan Wak Udin ketika itu masuk 4 bulan sebagai walikota.
Memoar itu tak pernah luput di ingatan awak. Sikap seorang walikota yang awak rasakan, yang notabene awak adalah warganya. Pun sampai sekarang, media massa yang awak punya dan kelola, diblacklist dari kerjasama oleh Pemerintah Konyoha. **
Discussion about this post