Oleh : Ayu Naila Adibah
(Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Admnistrasi Negara (S1), Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta)
Memoar luka merupakan sebuah catatan luka atas rekam jejak kehidupan yang telah terjadi, baik yang telah hilang rasa sakitnya maupun yang masih terasa-hingga-tidak tau kapan masa sembuhnya.
Indonesia memiliki memoar luka yang sangat banyak, ruam dari luka masih dapat dirasakan hingga saat ini oleh seluruh masyarakat Indonesia. Pasalnya, luka ini berwujud hal konkrit yang dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu contohnya adalah kemiskinan. Seakan menjadi kawan dalam kehidupan masyarakat, berita akan masalah kemiskinan tidak pernah mengalami antiklimaks, hal ini berarti kemiskinan tetap menjadi pokok bahasan yang krusial saat membicarakan keadaan masyarakat Indonesia.
Badan Pusat Statistik Indonesia mendata bahwa pada bulan September 2017, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran perkapita perbulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 26,58 juta orang (10,12 persen). Angka prosentase yang sangat besar untuk memprosentasekan satu dari sekian banyak permasalahan Indonesia.
Kemiskinan bukanlah hal yang dapat disepelekan, sebab berawal dari kemiskinan banyak masyarakat kesulitan untuk mendapat kehidupan yang layak. Sesungguhnya, negara sudah memberikan jaminan akan penghidupan yang layak tercantum pada pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945, yang menyebutkan bahwa: “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Ayat ini memuat pengakuan dan jaminan bagi semua orang untuk mendapatkan pekerjaan dan mencapai tingkat kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Akan tetapi, fakta di lapangan masih banyak ditemukan masalah sulitnya mencapai kehidupan yang layak, seperti kasus busung lapar yang terjadi di Kabupaten Asmat Papua yang menyerang anak-anak dan orang tua pada awal tahun 2018 ini.
Kemiskinan menjadi satu hal yang lebih besar ketika sebuah berita menghebohkan Indonesia datang dari Prabowo Subianto. Ketua Umum Partai Gerindra ini menggadang-gadang bahwa Indonesia akan bubar pada tahun 2030.
Sontak, pidatonya menjadi sorotan media massa. Banyak sekali pro dan kontra yang bermunculan dari aktor-aktor politik hingga para ahli. Prabowo membawa angin pesimistis ketika dirinya mengutip sebuah novel fiksi ilmiah dengan tebal 315 halaman berjudul “Ghost Fleet: a Novel of The Next World War” ditulis oleh Peter Warren Singer dan August Cole.
Dimana keduanya merupakan pengamat militer. Di dalam novel tersebut setidaknya ada tujuh kali Indonesia disebut dengan “former” yang secara arti berarti “bekas Indonesia”. Tidak hanya sampai situ, di antara penyebab utama bubarnya Indonesia dinyatakan karena keadaan kemiskinan dan minimnya kejujuran pemerintahan yang ada. Lagi-lagi, masalah kemiskinan disorot kembali.
Hal ini semakin menegaskan bahwa kemiskinan merupakan masalah yang benar-benar memiliki tingkat urgensi yang tinggi.
Pidato Prabowo tentunya mendapat banyak komentar, mulai dari apresiasi hingga cemoohan oleh masyarakat Indonesia. Banyak yang mengatakan bahwa pidato beliau sangat kontroversial. Pendukung pemerintahan Jokowi pun menjadikan hal ini sebagai bahan ledekan bagi politisi oposisi tersebut.
Banyak meme di dunia maya bermunculan untuk menjatuhkan citra Prabowo Subianto. Akan tetapi, cobalah untuk menilik lebih dalam lagi, membuka hati lebih lebar lagi, dan merasakan lebih peka lagi. Bukankah ramalan Indonesia bubar tahun 2030, bukan tidak mungkin dapat terjadi?
Bagaimana tidak! Setuju atau tidak setuju, pidato tokoh oposisi tersebut ada benarnya di beberapa titik, seperti banyaknya permasalahan yang dialami Indonesia. Permasalahan seperti kemiskinan dan minimnya kesejahteraan betul-betul tidak dapat kita anggap sepele dan remeh.
Sekali lagi, hal ini tidak dapat kita anggap remeh. Perlunya penanganan efektif untuk menyelesaikan hal ini. Namun, pernyataan Prabowo mengenai ramalan bahwa Indonesia akan bubar tahun 2030 tentunya sangat meruntuhkan hati.
Pasalnya, untuk menghindari hal tersebut artinya seluruh komponen pemerintahan dan masyarakat harus bekerja keras untuk mencegahnya terwujud. Memoar luka yang belum sembuh ini, harus kita sembuhkan.
Sebagai masyarakat Indonesia, kita harus bekerja sepenuh hati. Hal yang dapat kita lakukan sekarang adalah bekerja sesuai dengan peran masing-masing secara optimal, mencoba menghilangkan budaya konsumtif dan belajar menjadi seseorang yang produktif, berkarya, dan menabung.
Mari bekerja keras guna mencegah ramalan bubarnya Indonesia pada tahun 2030. NKRI sampai mati!
Discussion about this post