Ini yang tidak-tidak saja, tapi sudah jadi trend dan penglihatan sehari-hari. Dagu pakai masker, hidung dan mulut dibiarkan terbuka. Dari dagu masker turun ke leher. Maka jadilah ia masker leher.
Dulu orang ketawa suka tutup mulut dengan tangan. Sekarang tak perlu lagi, sebab mulut sudah tertutup masker yang tampaknya sudah jadi gaya hidup. Bentuk dan warnanya pun beragam. Harganya apalagi dan banyak dijual, di darat maupun online dengan harga murah.
Hari ini, yang dulu bilang tak bisa pakai masker, sekarang terpaksa memakainya, guna melindungi diri sendiri dari penularan virus Cina yang sampai kini masih menjadi pandemi tingkat dunia. Masker dipakai untuk menutupi hidung dan mulut, agar ketika batuk atau bersin, air liur jangan berkeleperan lalu kena orang lain. Kalau ada wabah corona, orang lain itu sakit dibuatnya.
Sudah ada pula topi dengan plastik bening menutupi muka. Kalau tak pakai masker, aman-aman saja. Harganya juga murah, mirip topi tukang las dan kini banyak yang pakai.
Ya … dunia sudah jungkir-balik. Yang tak lazim bisa saja jadi sebuah keharusan, yang di atas bisa saja tiba-tiba melorot ke bawah atau sebaliknya. Yang salah bisa jadi benar atau yang benar bila itu yang diinginkan penguasa. Materai Rp 6000 pun jadi laris untuk jadi penyerta penyataan maaf bagi kroni dan pendukung penguasa yang suka bikin lucu-lucuan, walaupun hal itu sangat melukai hati dan perasaan masyarakat banyak.
Kembali pada masalah masker, kini pakai masker memang telah jadi trend. Namun kebanyakan masker bukan untuk menutup mulut dan hidung, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam protokol kesehatan pada tatanan kehidupan baru oleh pemerintah.
Tapi lebih banyak dijadikan sebabagi penutup leher bawah ke atas. Sangat jarang ada yang menegur, termasuk aparat terkait. Meski hal itu terbilang menyalahi aturan tatanan kehidupan baru yang ditetapkan pemerintah. Alasannya (mungkin) karena peneguran itu menyalahi Hak Azazi Manusia. Hahaahaahahahaa… (*)
Discussion about this post