Independensi dan pers. Independen kadang diringkas indie, dapat berarti ‘bebas’, ‘merdeka’, ‘berdiri sendiri’, ‘swadaya’, ‘swakarsa’, atau ‘swakarya’ (Wikipedia). Sedangkan pers dapat diartikan dengan organisasi profesi. Pers pada kaidahnya dihunyi oleh sekumpulan wartawan, adalah suatu profesi yang identik dengan organisasi.
Pers selalu tumbuh berjalan bersamaan dengan wadahnya (organisasi). Leksem dari sebutan ‘independensi pers’ dapat dimaknai dengan sebutan: Kemerdekaan suatu organisasi profesi yang berdiri sendiri dan tidak terikat pihak manapun. Sebagai pilar ke empat demokrasi. Tolok ukur pers diukur berdasarkan ‘citarasa’ profesionalisme.
Rasa profesionalime pers atau profesionalitas wartawan mampu ditabulasikan pada sejauh mana independensi sikap yang sudah mereka tanam. Sebab literasi dari kata independensi ini adabnya dinamis. Sistem pers di suatu negara mengikuti sistem negara di mana pers itu beroperasi. Bahkan di fenom tertentu independensi ini bersifat nisbi, sarat kepentingan (politis). Cerminan itu dinilai berdasarkan kacamata individu (personal).
Dan harus dipahami bahwa dalam menjalankan fungsinya tersebut akan menempatkan pers sebagai sasaran dan target yang mudah diserang oleh pihak-pihak tertentu yang berusaha membatasi demokratisasi. Lebih-lebih ketika memasuki tahun politik. Oleh ‘penjahat demokrasi’, anatomi kebebasan pers tak jarang dirasuki stigma negative melalui opini-opini sesat. Tujuannya agar fungsi dan peranan pers sebagai pilar ke empat demokrasi punah, lapuk dan lekang.
Sementara di Indonesia, pers pilar ke empat demokrasi, dijamin kemerdekaan dan diakui keberadaannya oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena itulah demi menjaga maruah Pers Indonesia, pers diharapkan bisa menjalankan fungsi kontrol bila melihat terjadi penyimpangan terhadap demokrasi dan hukum.
Tonggak kebebasan pers di Indonesia terjadi dengan keluarnya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers di mana negara mengeluarkan kebebasan yang dikenal paling demokratis di dunia, karena negara telah membebaskan kehidupan pers dari campur tangan negara. Melalui kelahiran UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ini, maka: a) negara menghapuskan pemberlakuan surat izin penerbitan usaha pers (SIUPP), b) menghapuskan lembaga sensor terhadap pers, dan c) menghapuskan sistem bredel.
Konsideran menimbang huruf (c) UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers menegaskan bahwa Pers Nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun;
Pasal 3 Ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers mengatakan bahwa pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Dalam Pasal 6 UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers juga disebutkan bahwa pers harus bisa menjalankan fungsi kontrol perilaku, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang menjadi keprihatinan publik.
Dengan adanya peran pers sebagai sebuah mekanisme pengawasan terhadap pemerintah, jika terjadi kesalahan pada pemerintah, pers juga mampu menggerakkan masa untuk dapat melakukan perubahan.
Begitu pun juga dengan hak sipil wartawan yang dijamin undang-undang. Sebab insan pers, di sisi lain dalam koridor hukum murni civil society (masyarakat sipil).
Margiono, eks Ketua PWI Pusat sajalah contohnya. Apa kabar? Calon Bupati Tulungagung paling kaya dengan total kekayaan hartanya Rp6,5 miliar. Kandidat bupati berlatar belakang Direktur Utama Harian Rakyat Merdeka. Ia resmi mencalonkan diri menjadi Bupati Tulungagung di masa pilkada sekarang. Begitu ditetapkan sebagai kandidat bupati oleh KPU, Margiono menon-aktifkan diri dari ‘kursi kekuasaan’ PWI. Namun tidak ada satu artikel pun menulis Margiono non-aktif dari profesi kewartawanan.
Terlepas geliat dari strategi pers sebagai ujung tombak pejuang demokrasi sewaktu menelurkan karyanya, ataupun sepak terjang mereka dalam memproduksi karya-karya jurnalistik. Baik itu peran yang ‘dimainkan’ Magiono maupun wartawan pers lainnya. Tentunya tidak mempengaruhi segala sesuatu yang berkaitan dengan hak-hak mereka sebagai warga negara, terhitung sejak reformasi ini lahir.
Sipil tetaplah sipil!! Tak sama dengan ASN, TNI dan Polri yang harus dijaga netralitasnya ketika tahun politik tiba. Sedangkan wartawan, baru dapat dipertanyakan netralitasnya ketika karya jurnalistik yang dia produksi tidak mencerminkan independensinya secara profesional, dengan memihak salah satu kandidat paslon di pilkada, pileg maupun pilpres.
Discussion about this post