Baru-baru ini jagat perbankan syari’ah di Indonesia dikejutkan dengan keputusan Ormas Islam Muhammadiyah menarik tabungan dan dananya di Bank Syari’ah Indonesia. Saat ini BSI satu-satunya Bank Syari’ah BUMN di Indonesia setelah kebijakan di merger 3 Bank Syari’ah BUMN oleh Pemerintah melalui Menteri BUMN Erick Tohir.
Dana yang ditarik Muhammadiyah jumlahnya sangat fantastis mencapai 13-15 triliyun rupiah. Lalu dana saving itu dipindahkan ke beberapa bank syari’ah swasta. Ini jelas seperti gempa besar bagi BSI. Publik bertanya tanya kenapa Muhammadiyah menarik dananya dari BSI? Ada apa dengan BSI dan Muhammadiyah?
Muhammadiyah bukan organisasi kemarin sore. Sudah berdiri puluhan tahun sejak sebelum Indonesia merdeka. Tepatnya 18 November 1912, oleh KH. Ahmad Dahlan. Jasanya terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit. Banyak tokohnya yang menjadi pahlawan nasional. Di saat Indonesia belum merdeka dan menjadi sebuah negara merdeka, Muhammadiyah menjadi salah satu wadah berhimpunnya para pejuang pejuang IsIam dan kemerdekaan untuk melawan penjajah Belanda.
Diawali dengan kepedulian KH. Ahmad Dahlan terhadap nasib kaum dhuafa dan anak anak yatim. Kemudian banyaknya umat IsIam yang terkena kristenisasi dan terjebak klenik/kemusyrikan. Sehingga KH. Ahmad Dahlan yang baru pulang dari Mekkah ingin meluruskan dan membenahi akidah ummat.
Terinspirasi dari Surat Al Maun yang menjelaskan tentang siapa pendusta agama. Yaitu mereka yang menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin. KH. Ahmad Dahlan merintis pendirian Ormas Muhammadiyah yang bergerak di bidang dakwah, sosial, ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Awalnya Muhamadiyah hanya berkembang di Pulau Jawa terutama di Jogja sebagai tempat awalnya berdiri. Namun sejak Buya Hamka mendirikan cabang Muhamadiyah di Sumbar tepatnya di Sungai Batang Maninjau, akhirnya Muhamadiyah terus berkembang di seluruh Sumatera sampai ke Sulawesi, Kalimantan dan Papua hari ini. Bahkan banyak juga non muslim yang sekolah di sekolah dan Perguruan Tinggi Muhamadiyah.
Saat ini ribuan sekolah Muhammadiyah telah ada Indonesia. Jumlah anggota Muhamadiyah diklaim mencapai 60 juta orang. Puluhan Perguruan tinggi Muhamadiyah juga telah melayani rakyat Indonesia di bidang pendidikan tinggi. Asset Muhamadiyah saat ini mencapai 400 triliyun. Sehingga dinilai saat ini Muhamadiyah sebagai ormas Islam terbesar dan terkaya di dunia.
Tentu bukan sembarang alasan Muhamadiyah memutuskan keluar dari BSI. Menurut informasi dari Ketua PP Muhamadiyah Anwar Abbas, karena dana yang disimpan terlalu terkonsentrasi di BSI. Hal ini dapat menimbulkan risiko konsentrasi yang tidak sehat dalam dunia perbankan syariah.
Pengalihan dana dilakukan untuk mendiversifikasi penempatan dana di berbagai bank syariah lain dan mengurangi risiko tersebut tersebut. Agar bank-bank syari’ah lainnya yang punya kepedulian pada ekonomi ummat juga dapat berkembang. BSI sebagai bank pemerintah juga sudah memiliki aset yang sangat besar, 214.6 triliyun. Sehingga tidak perlu dukungan lagi.
Publik mungkin juga masih ingat lemahnya “sistem/aplikasi mobile banking” di BSI. Pada tahun 2023 yang lalu sistem internet/mobile banking di BSI sempat error selama beberapa hari sehingga banyak merugikan nasabah BSI termasuk Muhamadiyah yang tidak bisa bertransaksi. Sebabnya karena BSI terkena serangan cyber katanya. Saham BSI sempat anjlok 2.49% dan kepercayaan nasabah menurun, dan banyak juga yang menarik dananya dari BSI.
Kemudian sempat pula tersebar berbagai spekulasi di publik selain alasan di atas, yaitu kurang dihargainya posisi Muhamadiyah oleh BSI sebagai nasabah sekaligus ormas besar. Tidak adanya kader/unsur resmi perwakilan Muhamadiyah yang menjadi komisaris di BSI. Justru pada perubahan struktur BSI yang terbaru masuknya politisi Gerindra Hj. Felicitas Tallumbelang. Padahal sudah sepantasnya ada unsur resmi/perwakilan Muhamadiyah di sana.
Terlepas dari semua alasan di atas, pelajaran yang dapat kita ambil dari Muhamadiyah adalah sebagai berikut : Pertama, kemandirian dan profesionalisme Muhamadiyah sebagai sebuah ormas Islam. Sehingga memiliki asset dan kekayaan yang luar biasa. Asset dan kekayaan itu bisa berkembang tentu karena dikelola dengan amanah dan profesional.
Sebuah adagium dari Muhamadiyah yang disampaikan oleh KH. Ahmad Dahlan sang pendirinya: “Hidup-hidupilah Muhamadiyah jangan mencari hidup di Muhamadiyah.” Artinya kader kader Muhamadiyah bekerja membesarkan organisasinya bukan untuk memanfaatkan organisasi bagi kepentingan pribadi semata tapi untuk memberikan amal nyata yang bermanfaat bagi ummat dan organisasinya.
Kedua, peran Muhamadiyah mewujudkan pembaharuan Islam Indonesia. Muhamadiyah lahir sebagai organisasi Islam modern dan pembaharu. KH. Ahmad Dahlan yang terinspirasi dari Muhammad Abduh sebagai tokoh pembaharuan Islam juga telah melakukan pembaharuan Islam di Indonesia. Melalui amal-amal usahanya yang bergerak di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Sehingga muncul wajahnya Islam yang modern tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar dan prinsip-prinsip ajaran Islam itu.
Ketiga, kontribusi Muhamadiyah melahirkan tokoh-tokoh bangsa. Kita melihat Muhamadiyah banyak melahirkan tokoh-tokoh bangsa yang punya kapasitas mumpuni baik secara moral, spiritual dan intelektualnya. Ada Prof. Dr. Amien Rais, Prof. Dr. Din Syamsuddin, Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif, sekarang Prof. Dr. Haedar Nashir, dan sebagainya. Tokoh tokoh-tokoh yang dimiliki Muhamadiyah ini memiliki kontribusi yang besar juga bagi bangsa Indonesia. Seperti Prof. Amien Rais tokoh reformasi, Prof. Din Syamsuddin yang pernah menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia dan sebagainya.
Keempat, konsistensi Muhamadiyah dalam bersikap. Walaupun Muhamadiyah bukan organisasi politik tapi Muhamadiyah dengan tokoh-tokohnya konsisten untuk mengingatkan pemerintah Indonesia. Kadang kala Muhamadiyah mendukung pemerintah jika kebijakannya dianggap sesuai dengan kepentingan rakyat dan umat, sebaliknya Muhamadiyah bisa mengkritisi bahkan “beroposisi” atau berbeda sikap dengan pemerintah.
Karena mayoritasnya pengurus dan kader-kader Muhamadiyah berasal dari kaum intelektual terdidik sehingga memahami persoalan politik, kebangsaan dan kenegaraan sehingga Muhamadiyah tidak mudah untuk ikut ikutan saja dengan kebijakan pemerintah.
Contohnya yang terbaru Tokoh Muhamadiyah Prof. Din Syamsuddin mengkritisi kebijakan pemerintah untuk memberikan izin tambang kepada ormas Islam. Beliau mengatakan ketidaksetujuannya. Lebih banyak mudharat dibanding manfaatnya, kata beliau. Termasuk sikap PP Muhamadiyah menarik dananya dari BSI “bank pemerintah” yang dilakukannya saat ini, menunjukkan independensi dan konsistensi Muhamadiyah tidak mudah saja dikooptasi atau dikendalikan oleh rezim pemerintah yang berkuasa. Muhamadiyah bisa menjalankan posisinya sebagai penyeimbang, check and balance terhadap pemerintah. Ini sangat diperlukan bagi sehatnya demokrasi di Indonesia.
Demikianlah beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dari Muhamadiyah. Semoga Muhamadiyah terus maju dan berkembang. Serta terus memberikan kontribusi, menunjukkan konsistensi dan advokasinya terhadap persoalan ummat dan bangsa. Wallahu a’lam bishshawab. **
Discussion about this post