Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan jumlah penduduk terbanyak ke 4 di dunia terdiri dari berbagai macam suku yang memiliki kepentingan tersendiri. Kepentingan ini bisa saja menimbulkan gesekan-gesekan di lapisan masyarakat yang bisa menimbulkan suatu keadaan dimana tidak adanya sebuah kesatuan dan menghilangnya keutuhan yang bisa menjadi alasan terjadinya perpecahan menuju ancaman disintegrasi bangsa.
Kekhawatiran akan ancaman disintegrasi bangsa jauh sebelumnya, telah menjadi salah satu pemikiran dari para tokoh pemuda 93 tahun yang lalu seperti, Jong Java, Jong Soematra, Jong Ambon serta banyak lagi tokoh pemuda lainnya waktu itu sepakat mengikrarkan persatuan di Republik ini dengan apa yang mereka namakan dengan semangat Sumpah Pemuda 1928. Ikrar mereka jelas, bagaimana menjadikan negara ini menjadi satu, Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa. Lalu masih adakah semangat Sumpah Pemuda itu sekarang ditengah ancaman disintergrasi berbangsa?. Pergeseran nilai, masuknya pengaruh budaya luar ke negara kita rasanya sulit terbendung saat ini. Pertantanyaan ini tentu saja harus kita jawab bersama.
Tidak cukup ruang bagi penulis untuk mengurai persoalan disintegrasi bangsa saat ini seperti Konflik Kenegaraan atau Sistem Pemerintahan, Konflik Ideologi, Konflik Kepentingan, biarlah semua ini diurus oleh orang orang hebat yang berkompeten menyelesaikannya, karena itu memang ranahnya mereka, namun di sini penulis hanya akan mencoba mengurai salah satu butir Sumpah Pemuda yang berkaitan tentang Bahasa yang rasanya masih relevan untuk penulis sampaikan dalam memperingati hari Sumpah Pemuda.
Sebelum membicarakan bahasa Indonesia lebih jauh di Luar Negeri, di dalam negeri saja, Bahasa Indonesia seolah tiarap menghadapi gempuran bahasa alai yang semakin gencar membombardir pengguna bahasa. Tidak berhenti sampai di situ, bagi siswa baru, pemilihan jurusan bahasa Indonesia hanya menjadi pilihan alternatif, padahal semestinya tidak begitu. Situasi ini justru bertolak belakang dengan apa yang terjadi di Eropah seperti German dan Uzbekhistan, Cina, dan bebarapa negara ASEAN dimana pengajaran bahasa Indonesia terus menampakkan trend positive, hal ini tentu saja seperti mencoreng arang di kening.
Belum lagi apa bila berbicara tentang bahasa di negara tetangga kita Australia. Australia ini asset, karena tidak ada satu negara manapun di dunia ini selain Australia yang mengajarkan bahasa Indonesia mulai dari level Sekolah Dasar (SD) sampai Universitas. Bahkan Universitas di sana memiliki jurusan khusus bahasa Indonesia, jadi ini memang sangat spesial. Dibandingkan dengan negara lain, pengajaran bahasa Indonesia hanya pada level Universitas dan itupun masuk dalam kelompok ASIAN Studies. Penulis akui memang, saat ini minat siswa dalam mempelajari bahasa Indonesia di Benua Kanguru ini memang mengalami penurunan, tapi kita selalu optimis, pengajaran bahasa di negara tetangga kita ini akan bangkit kembali bila kita bersama-sama memikirkan hal ini. Paling tidak hal ini sudah penulis sampai kepada Pak Jokowi dalam sebuah pertemuan dengan beliau tahun 2013 sewaktu beliau masih menjabat Gubernur. Penulis pada akhirnya dapat bersyukur, beberapa langkah strategis sudah beliau ambil untuk menyelamatkan pengajaran bahasa di Australia, pada saat beliau menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Hubungan Bilateral antara Indonesia Australia memang mengalami pasang surut, tapi itu hal biasa. Hubungan kedua negara pernah mengalami puncaknya ketika kepemimpinan Perdana Menteri Paul Keating. Hubungan kedua negara tidak bisa dipisahkan dan ini harus selalu terus kita jaga. Kedua negara tentu saja memiliki kepentingan yang sama.
Begitu pentingnya Indonesia bagi Australia, melalui the Parliament of Commonwealth of Australian Join Standing Committee on Foreign Affairs Defence and Trade. Foreign Affair Sub Committee report, juga menekankan sebuah komitment yang baik antara kedua negara. Mereka telah rekomendasikan “Near Neighbors – Good Neighbors An Inquiry into Australia’s Relationship with Indonesia. On the Recommendation 3, where the committee recommends that the Federal Government jointly invite the States to examine ways in which the educational relationship with Indonesia can be more cohesively managed” (Canberra, May 2004).
Rasanya tidaklah berlebihan apa yang mereka sampaikan di atas. Penulis menggaris bawahi, penguatan hubungan kedua negara tidak saja dapat dilalui melalui hubungan G to G (Government to Government), tapi hubungan kedua negara dapat juga dilakukan melalui P to P (People to People) contact, dimana setiap anak bangsa dapat melakukannya, salah satunya melalui hubungan sosial budaya dan pendidikan. Sebagai pengajar bahasa, ini yang penulis lakukan dalam waktu dua dekade terakhir dalam upaya menyelamatkan pengajaran bahasa di Benua Kanguru ini.
Semoga saja momentum Sumpah Pemuda, kita dapat bersama-sama melakukan langkah nyata penyelamatan pengajaran Bahasa Indonesia di Benua Kanguru ini.
Upaya yang penulis lakukan ini mendapat perhatian khusus dari Dubes Gery Quilan-(Dubes Australia sebelum Ibu Penny Williams), dimana beliau secara khusus menulis “Recognition for your outstanding contribution to the Australia-Indonesia relationship and bridging our people closer together through promoting Indonesian language learning”.
* Pengajar Bahasa Indonesia di Australia dan Tenaga Ahli Bidang Hubungan Luar Negeri, Universitas Fort de Kock*
Discussion about this post