Limapuluh Kota — Team AJPLH (Aliansi Jurnalis Penyelamat Lingkungan Hidup Indonesia) dan LPLH-Indonesia (Lembaga Peduli Lingkungan Hidup Indonesia) bersama dengan beberapa awak media Rabu 09/06/2021 kunjungi beberapa tambang di Nagari Halaban, Kecamatan Lareh Sago Halaban, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat.
Soni, SH Ketua Umum AJPLH dan Pendiri LPLH-Indonesia mengatakan kepada awak media, bahwa team LSM Lingkungan Hidup turun ke Kabupaten Lima Puluh Kota untuk meninjau kondisi tambang yang aktif dan berapa jumlah tambang yang tidak aktif.
“Sebab hasil informasi yang didapat oleh LSM Lingkungan Hidup ada 53 tambang terdaftar dan pernah mengurus izin IUP (Izin Usaha Pertambangan) di Dinas ESDM dan Perizinan Satu Pintu Provinsi Sumbar pada tahun 2020,”terang Soni.
Sementara saat ini hanya 22 tambang yang masih aktif dan sisanya kita tidak tahu apakah tambang tersebut masih melakukan aktivitasnya, atau izinya yang sudah berakhir maka mereka tidak melakukan kegiatan tambang lagi atau memang ada izin tambang yang telah di cabut oleh Pemerintah Provinsi Sumbar.
“Karena jika memang tambang tesebut sudah tidak melakukan aktivitas lagi dan tidak perpanjang izin, bagaimana untuk perbaikan lingkungan yang telah rusak akibat dari pasca tambang tersebut,” ujar Soni.
“Bukankah ada jaminan dana reklamasi yang harus disetor oleh pihak pengusaha tambang sebelum mereka mengurus izin tambang untuk jaminan perbaikan lingkungan yang rusak karna pasca tambang nantinya, jika mereka sudah tidak melakukan aktivitas tambang lagi,”ungkap Soni.
Saat awak media coba menghubungi Kepala Dinas ESDM Provinsi, Heri Martinus untuk konfirmasi, beliau mengatakan sedang berada di luar kota karena urusan dinas luar. “Silahkan Senin datang ke kantor untuk konfirmasi langsung,”pintanya.
Salah seorang pemilik tambang berinisial “WN” yang dikonfirmasi oleh team AJPLH dan LPLH-Indonesia mengatakan bahwa, kami sebelum mengurus izin pertambangan, “Kami harus menyetor dana jaminan reklamasi dan kalau itu tidak disetor dahulu maka izin tidak bisa keluar,” ungkap WN.
Terpisah “HT” yang merupakan KTT (Kepala Teknik Tambang) yang lain mengatakan kepada team AJPLH dan awak media bahwa, lahan yang gunakan ini semuaya adalah lahan milik Nagari Halaban, “Kami juga tetap mengeluarkan fee untuk Nagari Halaban dan membayar pajak kepada pemerintah daerah setempat,” terang HT.
Saat awak media konfirmasi langsung ke kantor Wali Nagari Halaban kepada Wali Nagari Eka Rinaldi, S.Pt mengatakan bahwa ada 4 IUP di Nagari Halaban, dan ke 4 perusahaan tersebut benar ada membayar fee kepada nagari untuk menambah PAD Nagari Halaban.
“Namun tidak semuanya dari Rp 11.000,-/kubik yang disetor ke nagari itu semuanya untuk PAD Nagari, sebab masih dipotong untuk ninik mamak dan yayasan,” terang Walnag.
Kepala Badan Keuangan Lima Puluh Kota Irwandi, S.Sos saat ditemui awak media mengatakan bahwa ada 22 tambang yang sampai saat ini masih membayar pajak sesuai dengan Undang-undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dengan nilai Rp7000,-/kubik.
“Dan alhamdulilah untuk tahun 2020 dana yang diterima oleh pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota mencapi Rp6,5 miliyar/tahun dan tahun ini harus meningkat,” ungkapnya.
Menengarai hal itu, Soni melanjutkan, karena hasil investigasi team AJPLH dan beberapa awak media disinyalir adanya permainan beberapa perusahaan tambang dalam melakukan laporan untuk pembayaran pajak yang tidak sesuai dari hasil produksi yang telah mereka lakukan selama ini.
Malah team AJPLH dan awak media menemukan data di Nagari Halaban bahwa jumlah kubik yang mereka bayarkan ke Nagari Halaban dengan jumlah kubik yang dibayarkan kepada pemerintah daerah ada selisih yang lumayan besar jika dirupiahkan.
Soni meminta kasus ini ya harus diusut jangan dibiarkan saja, sebab pemegang izin IUP, IUPK, IPR, SIPB yang dengan sengaja menyampaikan laporan dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu bisa dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar, dan setiap IUP atau IUPK yang dicabut atau berakhir dan tidak melaksanakan reklamasi maupun pasca tambang. Lalu menempatkan dana jaminan reklamasi maupun jaminan pasca tambang dapat di pidana paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp.10 miliyar.
“Ini belum lagi jalan raya lintas Lintau – Payakumbuh yang rusak akibat tonase yang melebihi kapasitas jalan yang dilalui truk-truk pembawa hasil tambang, dan kita juga minta kepada Dinas Perhubungan Provinsi Sumbar untuk dapat melakukan pengawasan,” tutup Soni.
(tim)
Discussion about this post