Reportase investigasi.com Jakarta
Platform media terus berkembang. Begitu juga peraturan yang menjadi rambunya. Ada pergeseran definisi anak dan sanksi pelanggarannya.
Pasal 7 ayat (2) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers mengatakan “Wartawan wajib memiliki dan mentaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ).”
Rambu pemberitaan tentang anak terdapat pada Pasal 5 KEJ;
1. Anak adalah mereka yang belum berusia 16 tahun dan belum menikah.
2. Anak yang harus dilindungi identitasnya adalah pelaku tindak pidana.
Rumusan definisi anak dalam KEJ di atas berdasarkan Pasal 45 KUHP dan atau UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Adalah amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000 yang membuat definisi anak berubah setelah lahir Pasal 28B ayat (2), tentang perlindungan anak.
Berdasarkan Pasal 28B ayat (2) ini lahir setidaknya UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan kemudian UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Bila UU Pers yang lahir 1999 bersumber pada Pasal 28 UUD 1945 naskah asli, definisi anaknya masih gunakan Pasal 45 KUHP dan UU Perkawinan produk 1974.
UU Penyiaran yang lahir tahun 2002, didahului oleh UU Perlindungan Anak, mendefinisikan anak gunakan usia 18 tahun, baik belum maupun menikah.
Itu sebabnya meski profesinya sama, wartawan cetak atau online merujuk ke Pasal 5 KEJ, 16 tahun. Sedangkan wartawan penyiaran ikut P3 SPS dan UU Penyiaran, 18 tahun.
Dualisme tersebut berakhir setelah Dewan Pers menetapkan peraturan tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) pada 9 Februari 2019 yang bersumber dari UU SPPA sebagai berikut ;
1. Anak berhadapan dengan hukum adalah mereka yang belum berusia 18 tahun baik belum maupun sudah menikah, baik sebagai korban atau saksi tindak pidana.
2. Anak berkonflik dengan hukum adalah mereka yang berusia telah 12 tahun dan belum genap 18 tahun yang melakukan tindak pidana.
3. Identitas anak yang berhadapan dengan hukum tidak boleh dibuka dalam pemberitaan berbagai platform media.
4. Membuka identitas anak diancam pidana penjara 5 tahun dan denda Rp 500 juta.
Terkait larangan dan ancaman serius Pasal 19 Jo. Pasal 97 UU SPPA, wartawan harus melakukan kerja jurnalistik presisi agar tidak terkena sanksi pidana !
–Ahli Pers, Drs. Kamsul Hasan, SH., MH
Discussion about this post