Ketetapan telah diambil. Keputusan telah ditimang dengan matang. Dan itulah skema yang musti dijalankan Kabinet Merah Putih di bawah naungan Presiden Prabowo Subianto: efisiensi!
Seiring dengan kebijakan yang katanya menggunakan sumber daya seminimal mungkin, seperti: waktu, tenaga, dan biaya itu mulai memancing skeptisisme. Semua lembaga, institusi dan pemda terkena pemotongan anggaran. Semua disunat.
Cuma saja balada efisiensi ini seperti tak menunjukkan stigma solidaritas yang ada di kementerian serta kalangan elite. Mereka tetap klimis dengan stylenya yang necis.
Sementara di sesudut kedai-kedai kopi, isu efisiensi jadi pusat perhatian, para pemerhati dari daerah hingga pusat memandang ketidakberesan sedang bergumul terhadap keuangan negara. Beruntung seretnya keuangan negara sekarang tidak beriringan dengan fluktuasi, sehingga inflasi terkendali. Namun uang tak beredar.
Hanya saja belakangan harga emas mulai menanjak tak karuan. Di Kota Pariaman saja misalnya, nilai harga emas menjajal hingga ke level Rp4 juta lebih.
Para pemerhati mulai menebar pandangan dialegtis, isu efisiensi dikaitkan dengan keberadaan “matahari kembar” yang menjadikan negara ini terjebak dalam dilema fiskal. Gilanya, paradoksikal koruptor kalangan atas juga kian menampilkan prilaku bar-barismenya.
Tak heran spekulan dari hutang yang menggunung menghantui ekonomi negara. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit sebesar Rp104,2 triliun per Maret 2025. Bahkan kabar teranyar menyatakan pemerintah menarik hutang baru Rp250 triliun.
Sekarang semua lini terdampak kebijakan sakit ini. Momen ini bertepatan dengan hari raya Lebaran. Sangat gampang ditebak. Para perantau sebagian besar lebih memilih untuk menetap di perantauannya.
Lagi pula apa yang mau dibawa pulang untuk dibagikan ke anak kemenakan di kampung halaman? Uang tak punya, dagangan tak laku. Semua berjalan stagnan hingga takbir berkumandang.
Di daerah, dapur-dapur rumah rakyat perlahan tak lagi mengepul. Mereka menahan lapar. Hanya saja fenomena ini bersamaan dengan bulan Ramadhan. Tak begitu benar ketahuannya. Bak menangis di waktu hujan, tak begitu ketahuan. Masih ada dermawan yang kendati tertatih-tatih menawarkan bantuan, berharap keberkahan Ramadhan.
Lebaran kali ini terasa ala kadarnya saja. Semua mengeluh sulitnya ekonomi sejak Ramadhan sampai Lebaran datang. Apalagi profesi yang mengharapkan intervensi keuangan dari pemerintah. Mereka mematung sembari menimba dana yang ada di kantong pribadi.
Usaha-pengusaha dan UMKM mandek, kontraktor nganggur, cuma wartawan yang terus disibukan dengan pekerjaannya, soal keuangan jangan ditanya; tapi mereka tak berkecil hati demi menunaikan tugasnya yang mulia.
Pemerintah daerah bisa dibilang hanya sekedar pelengkap tatanan bernegara saja. Otonomi tak berjalan, ia dikebiri. Tok sekedar belanja rutin. Itupun ditakar!
Tak ada yang mengetahui pasti bagaimana keadaan negara saat ini selain pusaran di Kabinet Merah Putih. Pemerhati kebijakan di luar birokrasi hanya dapat mencuap lirih. Suara mereka tak didengar.
Kekhawatiran banyak kalangan mulai menyebar: jika kejadian ini berlangsung lama; jika Indonesia Gelap masih terhalang bayang-bayang matahari kembar, kemungkinan kejadian 98 bakal terulang. Sebab tak ada yang mampu menahan binalnya situasi perut-perut yang menahan lapar. **
Discussion about this post