Dalam sebuah podcast Eep Saefulloh Fatah, seorang analis dan konsultan politik yang berpengalaman menganalisis dan menyampaikan pandangannya, bahwa Megawati Soekarnoputri adalah contoh seorang politisi yang berkarakter di Indonesia saat ini. Di tengah banyaknya politisi yang pragmatis dan tidak punya pendirian. Terlepas dari sisi kekurangannya. Sisi positif dari sosok Megawati yang dapat diambil adalah konsistensi dalam berpolitik, sehingga dia disebut Eep sebagai politisi yang berkarakter.
Kenapa demikian? Karena bisa dilihat dari sejarah dan kiprahnya dalam dunia politik. Sejak tahun 1973 berdirinya PDI, Megawati konsisten menjadi oposisi bagi pemerintah Orde Baru. Setelah 26 tahun lamanya menjadi oposisi, dan tumbangnya rezim Orde Baru tahun 1999, barulah Megawati dan PDI-P meraih kemenangan. Bahkan sempat ditimpa prahara internal, namun tetap kokoh.
Buahnya Megawati kemudian menjadi Presiden RI dari tahun 2001-2004. Lalu tahun 2004 PDI-P dan Megawati kalah dari Golkar dan SBY menang sebagai Presiden, kembali Mega bersikukuh sebagai oposisi sampai tahun 2014. Hubungannya dengan SBY sampai hari ini masih berjarak karena itu.
Dari tahun 2014 PDI-P mengusung Jokowi sebagai presiden, bukan anak biologisnya yang digadang-gadang sebagai penerus trah Bung Karno, yaitu Puan Maharani. Termasuk pada Pilpres 2024 walaupun dikhianati oleh Jokowi yang menyebrang mendukung Prabowo dan anaknya Gibran, tapi Megawati lebih memilih mencalonkan Ganjar Pranowo dan Prof. Mahfud MD sebagai capres dan cawapres. Sekali lagi, bukan mencalonkan anaknya, Puan.
Kemudian kita lihat juga statement Anies Baswedan dalam acara PKS, beliau memuji bahwa PKS adalah salah satu partai yang konsisten di Indonesia saat ini. Ketika yang lainnya sudah berbelok, kata Anies, PKS masih berjalan lurus. “Kami menunggu sikap PKS dan menghargainya,” kata Anies.
Kalau kita lihat di tengah situasi politik Indonesia yang hingar bingar saat ini, dan indeks demokrasi yang semakin menurun, konsistensi dan karakter dalam berpolitik ini juga semakin langka. Banyak politisi yang kehilangan jati diri dan ideologinya ketika dihadapkan pada kekuasaan. Dengan mudah mereka berpaling dari pendukung dan pengikutnya dengan dalih rekonsiliasi. Padahal rekonsiliasi yang dimaksud, di baliknya adalah berbagi-bagi kue kekuasaan juga.
Memang, dalam seni perang ada yang namanya strategi Kuda Troya. Yaitu menyusup kedalam benteng musuh dan melemahkan musuh dari dalam. Tapi ujung-ujungnya kita melihat itu adalah strategi politik yang tujuan utamanya adalah meraih kekuasaan dengan membolehkan/menghalalkan segala cara. Sehingga kehilangan jati dirinya atau karakternya. Identik dengan khianat mengkhianati demi kepentingan kekuasaan.
Sebetulnya dalam sejarah bangsa Indonesia, banyak contoh negarawan dan politisi yang berkarakter, mereka lebih memilih jalan sulit dan mendaki untuk mencapai tujuannya walaupun dengan suka duka dan pengorbanan. Contohnya saja Dr. Muhammad Natsir. Pendiri dan Ketua Umum Partai Islam Masyumi. Perdana Menteri ke 5 Indonesia yang menjabat dari tahun 1950-1951.
Beliau memilih mengundurkan diri karena berbeda prinsip dengan Soekarno. Beliau adalah seorang yang kritis ketika melihat ketidakadilan, walaupun kemudian dipenjara di era Orde Lama dan dicekal di era Orde Baru. Beliau memilih tetap konsisten dengan pendiriannya. Beliau dikenal sebagai pejabat yang tak punya baju bagus. Bahkan jasnya pun bertambal.
Beliau juga dikenang sebagai menteri yang tak punya rumah dan menolak diberi hadiah mobil mewah. Jasa beliau terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia tak bisa diabaikan. Tapi memilih kemudian tersingkir dari panggung kekuasaan ketika prinsipnya tidak bersesuaian dengan pemegang kekuasaan. Inilah contoh politisi berkarakter dan berprinsip yang dimiliki Indonesia.
Begitu juga dengan Buya Hamka, seorang ulama, politisi Masyumi dan pejuang kemerdekaan yang sekarang riwayat hidup beliau kembali difilmkan untuk menjadi pelajaran bagi generasi penerus bangsa. Buya Hamka kemudian dipenjara bukan karena korupsi, tapi karena berbeda pandangan politik dengan penguasa, beliau diperlakukan dengan tidak adil oleh kawan seperjuangannya.
Bahkan difitnah sebagai pengkhianat bangsa. Beliau mengkritik kedekatan Soekarno dengan PKI ketika itu. Beliau melihat paham komunisme berbahaya bagi bangsa. Tapi Soekarno punya pandangan lain ketika itu untuk menyatukan ideologi nasionalis, agamis dan komunis dalam konsep Nasakom.
Barulah kemudian ketika terjadi pemberontakan G30 SPKI dan rezim Orde Lama berakhir, Buya Hamka kemudian bebas dari tahanan politik. Dalam keadaan sakit Soekarno berpesan agar Buya Hamka menjadi imam shalatnya ketika nanti beliau wafat. Buya Hamka kemudian bersedia. Dibuang semua benci dan deritanya. Urusan memaafkan adalah urusan manusia dengan manusia, sedangkan urusan dosa adalah urusan manusia dengan Tuhannya.
Tetapi kemudian Soekarno menyadari kesalahannya, ketika berwasiat Buya Hamka menjadi imam shalat untuk jenazahnya. Secara tidak langsung itu adalah permintaan maaf dari Soekarno kepada Buya Hamka. Dan Buya Hamka dengan besar hati menerimanya. Inilah contoh politisi dan negarawan bangsa yang berkarakter dan konsisten. Buya Hamka juga memilih mundur sebagai Ketua MUI daripada merubah fatwa MUI untuk membolehkan ucapan “Selamat Natal”, karena bagi beliau ini adalah masalah aqidah dan prinsip dalam agama.
Hari ini, inilah yang sangat langka dan krisis pada bangsa Indonesia. Perjuangan para pendiri bangsa yang berdarah-darah dan penuh pengorbanan, seakan dikhianati oleh orkestrasi korupsi yang melanda bangsa Indonesia. Praktek demokrasi yang semakin liberal dan bebas. Korupsi juga semakin merajalela. Kekuasaan dijadikan sarana untuk memerah kekayaan bangsa.
Contohnya Korupsi tata niaga timah yang awalnya diperkirakan 271 trilyun, ternyata menurut Kejaksaan Agung kerugian negara mencapai 300 trilyun. Belum lagi kasus-kasus lainnya yang terungkap dan tidak terungkap. Sementara rakyat semakin miskin, biaya hidup semakin mahal dan biaya pendidikan juga semakin tinggi. Sedangkan pejabat semakin kaya raya. Perbedaan harta sebelum menjabat dengan setelah menjabat semakin kontras. Banyak yang semakin melejit kekayaannya ketika menjabat.
Gaya hidup hedonisme di kalangan pemimpin dan demokrasi berbiaya tinggi menjadi salah satu pencetus utama penyimpangan kekuasaan ini (abuse of power). Jika ini tidak segera diatasi maka bisa berbahaya bagi kelanjutan bangsa Indonesia.
Sudah banyak negara besar yang kolaps dsn hancur karena kerusakan dari dalam dan juga intervensi dari luarnya. Oleh karena itu diperlukan hari ini konsistensi, karakter dan keteladanan dari para politisi, pemimpin dan pejabat bangsa ini, bahwa berpolitik dan memegang kekuasaan itu tujuannya adalah untuk “memerdekakan” rakyat dan bangsa Indonesia dari kebodohan, kemiskinan dan keburukan bukan untuk kekuasaan dan kekayaan semata. Wallahu alam bishshawab.
Discussion about this post