Oleh : Yohanes Wempi
Akhir-akhir ini banyak berita medsos yang memuat buruknya infrastruktur umum di Padang Pariaman, seperti fasilitas jalan rusak, ada nagari yang aspal jalannya sudah berlobang-lobang, ada yang belum diaspal, ada jembatan penghubung kecamatan bertahun-tahun putus/rusak, ada bangunan sekolah dasar yang bocor dan segela macamnya tidak terperhatikan.
Tidak itu saja, di beberapa kecamatan ditemukan penyakit langka yang tidak mendapat pelayanan dari pemerintah daerah, ada juga masyarakat yang rumahnya tidak layak huni, tidak layak ditempati, semua itu menambah deretan bahwa kimiskinan dan buruknya kehidupan masyarakat yang luput dari penanganan.
Selaku masyarakat Padang Pariaman baik yang berada di kampung dan berada di rantau harus jujur menyikapi hasil pemberitaan medsos daerah tersebut. Pertanyannya sekarang, apakah benar masyarakat Padang Pariaman saat ini dilanda kemiskinan dan tidak tercipta kebahagian? Jawabanya mari lihat keadaan lapangan dan kondisi riil di tengah masyarakat.
Indikator kasat mata tentu bisa dilihat dari keharmonisan keluarga/perceraian, kondisi keamanan/kriminal, keadaan lingkungan, hubungan sosial, dan ketersediaan waktu program pemerintah. Kemudian pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan, kondisi rumah layak dan aset pemda terabaikan, pendapatan rumah tangga dan pendidikan rendah, baruknya infrastruktur dan lainya.
Ternyata kesemua indikator diatas akan bisa mengukur indeks kemiskinan dan kebahagian yang terjadi di Padang Pariaman, maka indikator kemiskinan dengan indikator kebahagian keduaanya ibarat sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, saling keterkaitan semua akan dirasakan oleh masyarakat.
Secara visual melalu media masa cetak dan elektronik selalu dilihat hiruk-pikuk acara pemerintah daerah, atau kegiatan para pejabat di Padang Pariaman sekarang tidak memperlihatkan keadaan masyarakat dalam kondisi miskin dan tidak bahagia. Seperti pemberitaan koran setiap hari dipastikan ada dimuat iklan pejabat sedang berpidato dengan isi berpuitis indah keberhasilan, mereka sedang gembira memotong pita.
Mereka berhibur dengan tari-tari tradisional penunggu tamu pejabat dalam acara presmian, penghargaan silih berganti dan lainya. Atau terlihat disudut-sudut jalan strategis ditemukan baliho, sepanduk dengan gambar para kepaka daerah bergaya bak model, menampilkan keberhasilan dan kesuksesanya tampa melihat masyarakat makin miskin.
Jika dihitung-hitung nilai biaya acara/kegiatan serimonial dalam media masa atau baliho/sepandu tersebut bisa menghabiskan anggaran yang sangat besar, diasumsikan jika nilai anggarannya tersebut bisa sebenarnya dijadikan modal/pinjaman untuk mensejahterakan atau membahagiakan banyak orang miskin di Padang Pariaman, namun mereka lebih suka rancak dilabuah, sedang keadaan masyarakatnya memprihatinkan terkesan dibiarkan.
Permasalahan kemiskinan di daerah Piaman menjadi permasalahan yang serius yang perlu diselesaikan oleh pemerintah daerah. Perlu diketahui salah satu kemiskinan yang tersembunyi luput dari perhatian adalah di satu rumah di nagari-nagari ditempati berdesak-desakan oleh 3 sampai 4 kepala keluarga di dalamnya. karna diatara kepala keluarga tersebut tidak mempunyai uang untuk membangun rumah sendiri. Makanya mereka tetap menumpang dirumah gadang.
Namun kondisi kemiskinan bisa terjadi akibat belenggu sosial budaya yang masyarakat sudah cendrung hedonis, atau gaya melebihi pendapatan, penulis memiliki pemikiran bahwa kemiskinan yang terjadi di Padang pariaman diataranya merupakan kemiskinan yang terbelunggu oleh sosial budaya hidup rancak dilabuah dan tampilan luar.
Laki-laki masih mimiliki sikap bermalas-malasan yang suka duduk/nongkrong di lapau, budaya balapau disalah artikan oleh masyarakat, maka dengan suka balapau, laki-laki Padang Pariaman bisa menghabiskan waktu dilapau/warung berjam-jam, tidak mengenal waktu, terkadang terpakai waktu produktif untuk bisa bekerja yang seharusnya waktu produktif tersebut bisa dimanfaatkan keladang, kesawah, berkebun, beternak, dan lain. Sehinggan waktu produktif yang tersedia tidak mendatangkan penghasilan/uang.
Di samping itu kemiskinan yang terjadi di Padang Pariaman disebabkan juga oleh prosesi adat istiadat pernikahaan/perkawinan yang rumit dan berlebihan. Prosesi yang dimaksut disini adalah adanya tekanan dan tuntutan adat istiadak kepada pihak keluarga laki-laki atau perempuan untuk memberikan uang hilang/uang jemputan/uang dapur/uang seisi kamar atau “maisi adai salangko-langkoknyo untuk perkawinan” dan mengadakan acara pesta yang berlebih-lebihan tanpa mempertimbangan manafaat dan mudaratnya.
Sehingga dengan adanya prosesi adat istiadat yang berlebihan seperti itu, menyebabkan orang tua mempelai terpaksa menjual semua harta benda yang ada, terkadang terpaksa menggadaikan pusaka tinggi untuk mendapatkan modal. Selesai perkawinan/pernikahaan semua harta benda sudah tidak adalagi kemiskinan datang.
Terkadang tingginya biaya prosesi adat istiadat tersebut berakibat terjadilah perkawinan antara orang miskin dengan orang miskin, atau wanita miskin terpaksa dicarikan pasangan dengang lelaki miskin, wanita yang tidak berpendidikan akan dipertemukan dengan laki-laki yang tidak bersekolah juga, sehingga dengan efek budaya yang berbiaya tinggi, pada akhirnya pasangan ini tidak bisa keluar dari kemiskinan lama. secara teori biologi, adanya gent resesif kimiskinan yang selalu berkembang ditengah masyarakat.
Begitu juga dengan kebijakan pemerintah daerah yang lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik, membiayai ratusan milyar gedung-gedung tak produktif, sedangkan memberikan pembiayaan untuk modal kerja dan keterampilan tidak diprogram, ada pun presentasi angaran kecil dan tak merata. Ada di Padang Pariaman daerahnya secara infrastruktur bagus, missal jalan bagus tapi disepanjang jalan kiri kanan terlihat secara nyata ada rumah kayu yang reyot atau lantai hanya tanah yang nota bene merupakan terdapat banyak kepala keluarga miskin.
Ternyata besaran dana negara yang tersedia dengan kebijakanan strategis yang tidak memihak pada mereka masyarakat miskin, akhirnya tidak satupun program pengentasan kemiskinan yang direalisasikan, malah setiap tahun ditemukan pemerintah daerah mengalokasikan biaya infrastruktur fisik sangat tinggi sebesar 80%, sedangan biaya pemberdayaan masyarakat terhindar dan keluar dari kemiskinan hanya 20% dan terkadang tak ada.
Apabila diurai dalam bentuk lain penyebab kemiskinan di Padang Pariaman memiliki banyak variabel lain di luar yang dijelaskan di atas, kedepan tinggal bagaimana menyikapi agar pengentasan kemiskinan ini bisa dilaksanakan dan direaliasikan dengan baik secara bersama-sama, sehingga 5 atau 15 tahun kedepan tidak adalagi masyarakat Padang pariaman ini yang miskin dan tak bahagia.
Banyak langkah yang bisa dilakukan untuk keluar dari kemiskinan, kesemua harus dimulai dari kebijakan Pemerintah Daerah, Bupati dengan aparatur negara harus hidup sederhana, mengakhiri gaya-gaya kepemimpinan yang borjuis atau pencitraan yang menelan biaya tinggi hanya untuk kegiatan serimonial dan hura-hura pencitraan tanpa bersentuh langsung pada rakyat.
Disamping itu aparatur pememrintah bersama masyarakat menumbuhkan budaya etos kerja tinggi dan suka bekerja keras untuk keluar dari kemiskinan. seperti tercermin dari etos kerja warga Jepang. Maka setiap waktu/hari masyarakat yang ada harus diisi dengan kegiatan produktif yang mampu meningkatkan pendapatan perkapita yang bisa mencukupi kebutuhanya hidup.
Adat istiadat yang dinilai menghambat pengentasan kemiskinan harus di hilangkan, seperti dijelaskan diatas bahwa sistim perkawinan/pernikahan yang ada di Piaman perlu disederhanakan dengan pembiayaan yang murah. Bagai mana juga adat istiadat harus membuka ruang dengan perkawinan/pernikahaan pasangan dengan status ekonomi yang berbeda.
Dalam mengentasan kemiskinan diperlukan keterlibatan semua unsur masyarakat yang ada di Padang Pariaman, keterlibatan ini tidak terlepas dari motor penaggungjawabnya pemerintah dan kita semua. Maka secepatnya pengetasan kemiskinan direalisasikan, jika kemiskinan sudah dientaskan dengan baik, ada keyakinan masyarakat bahagia akan tercipta sendirinya. [*]
Discussion about this post