Sebagai bagian dari generasi Y atau yang lebih dikenal sebagai millenials, Saya ikut bertumbuh seiring berkembangnya teknologi informasi di era digital. Pada masa sekarang, semua pihak sangat dimungkinkan menjadi seorang pembuat berita (journalist), penyiar berita (newscaster), dan sekaligus juga penerima berita. Memang informasi menjadi “barang murah dan mudah” untuk didapat pada masa sekarang. Tidak berlebihan juga ketika ada yang mengatakan bahwa dunia hari ini ada dalam genggaman kita. Merujuk pada penggunaan smartphone yang kita miliki, dapat mengantarkan setiap pemiliknya ke berbagai belahan dunia.
Tentu bagi pemerintah, era digital menjadi tantangan tersendiri. Terutama dalam negara demokrasi seperti Indonesia. Peristiwa sekecil apapun di negeri ini, bisa mendapat feedback langsung dari masyarakat. Bahkan, kandasnya hubungan asmara anak presiden, sempat membuat heboh jagad maya tanah air. Sebuah fenomena unik yang memang dihasilkan dari sistem yang kita sebut sebagai era digitalisme.
Masih terang di ingatan kita tentang laporan yang diterbitkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) di penghujung tahun 2020 lalu yang mengatakan, bahwa pemerintah pusat telah mengeluarkan anggaran belanja untuk influencer mencapai 90,45 miliar. Sebuah catatan yang mencengangkan tentunya. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah, apakah desain komunikasi pemerintah sebegitu membosankan sehingga dibutuhkan “Speaker Mewah” untuk mengantarkan informasi kepada setiap masyarakat?
Anggaran besar tersebut terasa membingungkan diawal ketika pemerintah sebenarnya memiliki Kementerian Komunikasi Dan Informasi yang memang dari segi fungsi mengurusi hal-hal yang berbau komunikasi dan informasi dan punya anggaran sendiri. Atau, apakah memang kementerian tersebut hari ini difungsikan untuk mengelola influencer dan buzzer dengan “upah mewah”? Pertanyaan ini sudah pernah terjawab oleh Prof. Henry Subiakto, yang berkomentar dalam kapasitasnya sebagai Staf Ahli Kemenkominfo. Ia menjelaskan bahwa dalam kementerian tempat Ia bernaung, tidak pernah mengikutsertakan influencer berbayar.
Lantas, siapa yang bisa menjelaskan temuan ICW tersebut?
Ketika banyak komunikasi “mandek” terjadi, membuat opini terus berkembang. Kondisi tersebut secara otomatis membuat meningkatnya kebutuhan akan polesan-polesan dari influencer dan buzzer. Contohnya saja banyak kebijakan-kebijakan tidak populer yang membutuhkan kemasan menarik dalam penyajiannya. Dengan eksistensi influencer dan buzzer, pemerintah menjadi terfokus kepada promosi besar-besaran ketimbang membuka diri atas koreksi-koreksi yang datang. Karena seharusnya kemajuan dalam bidang teknologi komunikasi dan informasi ikut memberikan akses koreksi yang lebih terbuka dalam setiap proses lahirnya kebijakan.
Pernyataan kontroversial Menteri Agama Republik Indonesia , Yaqut Cholil Choumas baru-baru ini, seolah menjadi penegasan bahwa memang ada yang salah dengan komunikasi pemerintah. Dalam kasus tersebut contohnya, masyarakat menjadi lebih berfokus kepada pemisalan konyol yang disampaikan oleh menteri terkait, ketimbang ide yang sedang dibahas. Yang terjadi pada akhirnya adalah, ide tersebut layu sebelum berkembang, dan bahkan tidak mendapat kesempatan untuk diuji di tengah masyarakat. Banyak kondisi dimana pada akhirnya pemerintah gagal memasukan masyarakat ke dalam ruang dialektika tanpa menyentuh ide sama sekali. Sebagai aktor terkini dari fenomena kambuhan tersebut, Yaqut Cholil Qoumas mungkin saja menyadari bahwa perkataannya yang hanya beberapa detik itu, bisa membuat Ia lengser dari kursi menteri saat ini. Karena jelas, masyarakat masih terbelah pasca pilpres kemarin. Dan isu-isu sensitif seperti ini sangat mudah dan cepat mengapung untuk kemudian menciptakan konflik. Seperti kita ketahui, isu-isu semacam ini merupakan isu yang sangat mengganggu untuk Presiden Joko Widodo. Sebagaimana dalam perjalanan pemerintahannya, Ia selalu mencari jalan keluar yang “aman” dalam isu seperti ini. Dan oleh karena itu, kemungkinan terburuk diatas bisa saja terjadi. Namun Yaqut tidak perlu terlalu khawatir. Ia boleh menyesal, dan tentu harus mempersiapkan “pengakuan dosa” kepada presiden. Untuk selanjutnya, influencer dan buzzer akan menuntaskan apa yang belum Yaqut tuntaskan. Semuanya kemudian menjadi jelas. Fenomena ini terlihat tidak begitu berat untuk diselesaikan oleh influencer dan buzzer. Banyak problem yang lebih pelik dari kasusnya, yang pernah dikemas ulang Influencer dan buzzer. Yaqut masih bisa untuk diposisikan sebagai orang yang tidak sepenuhnya gagal, hanya agak “nyeleneh” dan kurang pengalaman beretorika saja.
Dalam kondisi seperti di atas, influencer atau buzzer diharapkan menjadi filter dari suara-suara sumbang yang ter-upload ke masyarakat. Kehadiran influencer dan buzzer pun memunculkan perilaku baru dari pemerintah. Belakangan ini banyak bakal-bakal atau sudah dalam bentuk kebijakan yang “nekat” dikeluarkan oleh pemerintah dan elit-elit negara. Revisi Undang-Undang KPK dan RUU Cipta Kerja hanya sedikit dari banyaknya “spekulasi ekstrim” dari penguasa negeri ini. Toh segala macam yang buruk rupa dianggap akan cantik dengan sendirinya di tangan para influencer dan buzzer tersebut. Sehingga kita memahami kemudian kenapa pemerintah menyediakan anggaran besar yang disediakan untuk mereka. Hmm, jenaka sekali negeri ini. Karena ini menunjukan penguasa tidak siap dengan perkembangan teknologi informasi yang ada. Mereka mendadak gagap, dan habis-habisan mengamankan teritorial politiknya. (*)
Discussion about this post