Jakarta — Praktik peredaran beras oplosan semakin mengkhawatirkan. Selain merugikan secara ekonomi, konsumsi beras yang dicampur dari berbagai jenis kualitas ini juga berpotensi menimbulkan dampak serius bagi kesehatan. Hal ini disampaikan oleh Kepala Seksi Pelayanan Medik dan Keperawatan RSUD Tamansari, dr. Ngabila Salama, MKM, Minggu (13/7/2025).
“Beras oplosan adalah campuran dari beberapa jenis beras dengan kualitas berbeda, yang biasanya dilakukan untuk menipu konsumen atau meraup keuntungan lebih besar,” ujar dr. Ngabila saat dihubungi Kompas.
Ia menyebutkan, beberapa contoh umum dari praktik ini antara lain mencampurkan beras premium dengan kualitas rendah, beras lokal dengan beras impor, hingga beras rusak dengan beras baru. Akibatnya, selain mutu beras menjadi tidak jelas, kandungan gizinya pun menurun drastis.
Menurut dr. Ngabila, beras oplosan bisa dikenali dari sejumlah ciri fisik seperti warna yang tidak seragam, aroma yang apek atau menyerupai bahan kimia, hingga tekstur nasi yang cepat basi dan lembek saat dimasak. “Terkadang, kita juga bisa menemukan serpihan kecil, potongan patahan, atau bahkan benda asing di dalamnya,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa beras oplosan bukan sekadar persoalan etika dagang, namun juga menjadi persoalan kesehatan publik. Konsumsi jangka pendek dapat menyebabkan mual, muntah, diare, dan iritasi saluran cerna. Adapun efek jangka panjang berisiko lebih serius, mulai dari kerusakan hati dan ginjal, gangguan metabolisme, hingga peningkatan risiko kanker.
“Zat kimia ilegal seperti boraks, formalin, hingga Rhodamin B pernah ditemukan pada beras oplosan. Jika dikonsumsi dalam jangka waktu lama, ini bisa menyebabkan gangguan perkembangan anak, terutama balita,” tegasnya.
Karena itu, masyarakat diminta untuk lebih waspada dan tidak sembarangan dalam memilih bahan pangan pokok. dr. Ngabila menyarankan agar masyarakat membeli beras dari merek terpercaya, memeriksa aroma dan warna butiran beras, serta segera melaporkan jika menduga ada praktik pengoplosan.
“Jika masyarakat curiga, silakan laporkan ke Dinas Perdagangan, BPOM, atau Satgas Pangan setempat. Ini menyangkut keamanan pangan kita semua,” pungkas dr. Ngabila
Red/amr
Discussion about this post