JAKARTA – Warga Meruya Selatan, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat, geram. Aktivitas truk pengangkut tanah untuk proyek perumahan Pacifik Garden di Kavling DKI No. 11 kembali menciptakan kemacetan dan polusi udara parah, meski sudah ada kesepakatan resmi terkait jam operasional.
Truk-truk besar yang seharusnya hanya boleh beroperasi mulai pukul 22.00 WIB hingga 04.00 WIB, nyatanya tetap hilir mudik di siang dan sore hari dan justru menabrak kesepakatan yang dibuat antara pihak proyek, Lurah Meruya Selatan, serta unsur Tiga Pilar (Polri, TNI, dan Pemerintah Kota).
“Ini persoalan serius. Kami sebagai warga yang tinggal di sekitar proyek sangat terganggu dengan kemacetan dan debu yang timbul setiap hari,” kata Rossi, salah satu warga, Jumat (9/5/2025).
Menurut Rossi, aparat pemerintah terkesan tak berdaya menghadapi pelanggaran yang terus terjadi. “Sudah ada imbauan dan kesepakatan resmi, tapi tetap saja dilanggar. Kami tanya, untuk apa pemerintah turun ke lokasi kalau tidak punya ketegasan? Apa aparat kita sudah takut pada pemilik modal?” sindirnya tajam.
Respons pemerintah yang diharapkan tegas justru tampak sebaliknya. Ketika wartawan mengonfirmasi keluhan warga kepada Kepala Seksi Operasional Suku Dinas Perhubungan Jakarta Barat, Affandi, jawaban yang diberikan justru tidak menyentuh substansi masalah.
“Siang ini anggota ke lapangan. Nanti saya info Pak H, Umar juga,” jawabnya singkat, Kamis (8/5/2025), sembari menyebut nama seorang tokoh pemuda Jakarta Barat, tanpa penjelasan tindak lanjut konkret.
Sikap ini dinilai sebagai bentuk pengalihan isu dan ketidaktegasan yang semakin memperpanjang penderitaan masyarakat. Aktivitas proyek seakan kebal hukum dan aparat seperti kehilangan keberanian untuk menindak tegas.
Ketidakberdayaan ini mendapat sorotan tajam dari akademisi dan pemerhati hukum serta kebijakan publik, Awy Eziary, S.H., S.E., M.M., yang menyebut kondisi ini mencerminkan kegagalan fungsi negara di tingkat lokal.
“Kalau aparat takut pada pemilik proyek, lalu buat apa mereka digaji dari uang rakyat? Jangan-jangan mereka justru bagian dari proyek itu sendiri,” ujar Awy.
Ia menekankan bahwa aktivitas seperti ini tak mungkin luput dari pengetahuan pejabat wilayah. “Kalau mereka bilang tidak tahu, berarti mereka lalai. Kalau tahu dan diam, berarti mereka ikut terlibat atau membiarkan. Dua-duanya berbahaya bagi tata kelola pemerintahan yang sehat,” imbuhnya.
Warga Meruya Selatan mendesak agar Pemprov DKI Jakarta, khususnya Wali Kota Jakarta Barat dan Dinas Perhubungan, segera mengambil tindakan nyata, bukan sekadar inspeksi formalitas. Mereka juga berharap aparat penegak hukum dapat menelusuri dugaan pelanggaran izin serta dampak lingkungan dari proyek urugan tersebut.
“Ini bukan sekadar soal jam operasional, tapi tentang hak kami atas lingkungan yang bersih dan lalu lintas yang aman,” tutup Rossi.*
Red/amr
Discussion about this post