Oleh: Jumaldi, S.Pd.I
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
Membaca Al-Qur’an dengan tajwid yang benar merupakan kewajiban bagi setiap umat Islam, baik di Nusantara maupun di seluruh dunia. Karena itulah para ulama menjelaskan ilmu tajwid dari berbagai aspek keilmuan. Hukum mempelajari dan menerapkan tajwid adalah fardhu ‘ain, artinya setiap individu bertanggung jawab untuk membaca Al-Qur’an dengan tajwid dan tartil sesuai kaidah yang benar agar tidak mengubah atau memalingkan makna bacaan.
Membaca Al-Qur’an tanpa tajwid—alias sembarang baca—dihukumi berdosa, terutama jika kesalahan tersebut mengubah makna, baik dalam membaca Al-Qur’an sehari-hari maupun bacaan dalam salat. Hal ini sebagaimana pendapat para ulama terdahulu maupun ulama masa kini.
Dalam pembahasan ilmu tajwid, baik secara teori maupun praktik, para ulama telah menuliskannya dalam berbagai kitab seperti Matn Al-Jazariyah dan Tuhfatul Athfal yang khusus membahas rambu-rambu tajwid. Sebagaimana ucapan Imam Ibnul Jazari, “Mempelajari ilmu tajwid adalah sebuah kewajiban. Barang siapa yang tidak mentajwidkan Al-Qur’an, maka ia berdosa, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan Al-Qur’an dengan tajwid, dan demikian pula Al-Qur’an sampai kepada kita.”
Membaca Al-Qur’an adalah amalan mulia dan utama yang memiliki banyak keutamaan dan keberkahan bagi para qari dan qariah. Namun demikian, ada sebagian pembaca Al-Qur’an yang lebih mengutamakan keindahan suara atau lagu (nagham) dibandingkan dengan tata cara baca yang benar. Ini tentu sangat disayangkan, karena mereka tidak memahami esensi firman Allah, “Bacalah Al-Qur’an dengan tartil.” (QS. Al-Muzzammil: 4).
Secara bahasa, ilmu tajwid berasal dari kata jawwada–yujawwidu–tajwīdan yang berarti membaguskan. Secara istilah, Imam Ibnul Jazari menjelaskan bahwa tajwid adalah “membaca dengan membaguskan pelafalannya agar terhindar dari keburukan pelafalan dan makna, serta membaca dengan tingkat kebenaran dan kebagusan yang maksimal.” (An-Nasyr fi al-Qirā’āt al-‘Asyr, 1/120).
Beliau juga menjelaskan hakikat tajwid, yaitu menghiasi bacaan dengan memberikan hak dan tingkatannya kepada setiap huruf, mengembalikan huruf pada makhraj dan sifat asalnya, menyesuaikan huruf pada setiap keadaan, serta memperindah pelafalan tanpa berlebihan dan tanpa meremehkan. (An-Nasyr fi al-Qirā’āt al-‘Asyr, hal. 212).
Adapun kesalahan dalam membaca Al-Qur’an dibagi ulama menjadi dua: pertama kesalahan Khafi (ringan). Kesalahan ini masih bisa ditoleransi, misalnya memanjangkan harakat yang seharusnya dua harakat namun dibaca tiga atau empat. Kesalahan ini tetap harus diperbaiki, tetapi tidak sampai mengubah makna.
Kedua adalah kesalahan Jali (besar). Kesalahan yang dapat mengubah makna, seperti memanjangkan bacaan yang tidak seharusnya panjang, mengganti harakat (fathah, kasrah, dammah), atau kesalahan fatal lainnya. Kesalahan jenis ini wajib dihindari dan diperbaiki.
Oleh karena itu, setiap Muslim dan Muslimah seyogianya menjadikan ilmu tajwid dan tartil sebagai pedoman dalam membaca Al-Qur’an. Kita hendaknya mencontoh bacaan Rasulullah, para sahabat, tabi’in, dan para salafus saleh agar bacaan kita menjadi lebih fasih, benar dari sisi makhraj maupun sifat huruf, serta sesuai kaidah tajwid. Dengan demikian, bacaan Al-Qur’an dapat menjadi kekuatan ruhani dan menghindarkan kita dari kesalahan, serta mendatangkan keridaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Secara pribadi, penulis pun sepakat dan mendukung pentingnya setiap pembaca Al-Qur’an belajar kepada guru atau ustaz yang terpercaya keilmuannya dan mantap pemahamannya dalam tajwid. Hal ini penting agar tidak terjadi kesalahan yang dapat merusak atau mengubah kesempurnaan bacaan. Dengan belajar kepada ahlinya, bacaan kita akan lebih sesuai dengan petunjuk Rasulullah yang diutus membawa mukjizat Al-Qur’an.



Discussion about this post