Jakarta – Pemerhati Hukum Ekonomi Kerakyatan/Peneliti Industri Strategis, Rioberto Sidauruk dalam pandangannya terkait Unifikasi pangan menyampaikan, dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks, Indonesia harus segera menyusun kebijakan pangan yang tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga proaktif dalam menciptakan sistem pangan yang kuat, berkelanjutan, dan berdaulat.
Untuk itu, katanya Minggu (11/5/2025), ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan harus diintegrasikan dalam satu sistem yang holistik, yang mampu memastikan swasembada pangan dalam jangka panjang sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor pangan.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Koordinator Bidang Pangan, di tahun lalu telah mengumumkan alokasi anggaran sebesar Rp139,4 triliun pada 2025 untuk mendukung program swasembada pangan.
Dana besar ini rencananya digunakan untuk berbagai program strategis yang bertujuan meningkatkan ketahanan pangan nasional dan memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menegaskan bahwa anggaran tersebut akan tersebar di beberapa kementerian dan lembaga yang berada di bawah koordinasi Kemenko Pangan, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU), serta dana pupuk yang dikelola oleh BUMN.
Meskipun alokasi anggaran ini cukup besar, tantangan terbesar adalah memastikan bahwa dana ini dikelola secara terintegrasi untuk mendukung swasembada pangan secara menyeluruh, bukan hanya pada sektor-sektor tertentu, namun dalam sebuah ekosistem pangan yang saling terkait.
Badan Pangan Nasional (NFA) juga menegaskan komitmennya untuk mendukung penuh agenda prioritas pemerintah dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2026, khususnya dalam mendorong terwujudnya kedaulatan pangan nasional.
Penegasan ini disampaikan oleh Plt. Sekretaris Utama NFA, Sarwo Edhy, seusai mengikuti Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat (Rakorbangpus) Tahun 2025 dan Kick Off Meeting Penyusunan RKP Tahun 2026 yang diselenggarakan oleh Kementerian PPN/Bappenas di Jakarta pada 5 Mei 2025.
Komitmen yang ditunjukkan oleh NFA ini semakin menegaskan pentingnya pencapaian kedaulatan pangan sebagai salah satu prioritas strategis dalam jangka panjang.
Pentingnya Unifikasi Tiga Pilar Pangan ketiga pilar pangan menjadi sangat penting mengingat kondisi dunia yang semakin dinamis dan penuh tantangan. Ketahanan pangan tidak bisa dipisahkan dari kemandirian pangan, dan keduanya sangat bergantung pada adanya kedaulatan pangan yang mengedepankan kemampuan Indonesia untuk menentukan sistem pangan sendiri tanpa ketergantungan pada impor.
Ketahanan Pangan mengacu pada kemampuan negara untuk memastikan pangan yang cukup, aman, bergizi, dan terjangkau bagi seluruh rakyat. Namun, ketahanan pangan tidak cukup hanya dengan mengandalkan impor atau mendatangkan bahan pangan dari luar negeri.
Ketahanan pangan sejatinya harus berasal dari penguatan produksi dalam negeri, yang memerlukan peningkatan sektor pertanian serta distribusi yang lebih efisien.
Kemandirian Pangan berfokus pada pemenuhan kebutuhan pangan domestik dari produksi dalam negeri.
Saat ini, ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan pangan seperti gandum, kedelai, jagung, dan gula masih sangat tinggi.
Ketergantungan ini tidak hanya menambah defisit perdagangan pangan, tetapi juga memengaruhi daya saing petani lokal yang semakin terpinggirkan.
Oleh karena itu, mencapai kemandirian pangan berarti memperkuat produksi pangan lokal dan industri pengolahan berbasis pertanian rakyat.
Kedaulatan Pangan, di sisi lain, berbicara tentang hak negara untuk menentukan kebijakan pangan yang independen dan adil. Kedaulatan pangan berarti Indonesia memiliki kontrol penuh terhadap kebijakan pangan yang tidak tergantung pada keputusan atau adanya intervensi dari negara lain.
Kedaulatan ini juga mencakup perlindungan terhadap benih lokal, peningkatan keragaman pangan tradisional, dan pemberdayaan petani sebagai aktor utama dalam rantai pasok pangan.
Ketiga pilar ini—ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan—tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Ketiganya harus saling terintegrasi, membentuk satu sistem pangan yang utuh dan berkelanjutan.
Dalam hal ini, ekosistem pangan nasional harus dipadukan menjadi kesatuan yang mendukung penguatan ketiga pilar tersebut.
Tanpa unifikasi yang jelas, ketiga pilar ini akan saling bertentangan dan menghambat pencapaian tujuan pangan berdaulat yang diinginkan.
Tantangan Regulasi dan Kesenjangan antara Industri dan Petani
Untuk memastikan tercapainya unifikasi ketiga pilar pangan, langkah-langkah strategis yang terkoordinasi dan komprehensif sangat dibutuhkan. Salah satu langkah penting adalah merevisi Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Revisi ini harus mencakup penambahan perlindungan terhadap produk pangan lokal serta pembatasan impor bahan pangan strategis.
Hal ini sangat penting untuk menjaga stabilitas produksi nasional, mengurangi ketergantungan pada pasar global, dan memperkuat daya tawar petani domestik. Tanpa perlindungan yang cukup terhadap produk lokal, ketahanan pangan Indonesia akan tetap terancam oleh fluktuasi harga dan pasokan pangan yang tidak terduga dari luar negeri.
Selanjutnya, penguatan Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian juga menjadi kunci penting dalam mengintegrasikan ketiga pilar pangan tersebut. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan menambahkan klausul khusus yang mendukung industri pangan lokal berbasis pertanian rakyat.
Aturan ini nantinya tidak hanya akan mendorong hilirisasi yang inklusif, tetapi juga menciptakan nilai tambah di dalam negeri.
Dengan mendukung agroindustri lokal, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada impor bahan pangan yang lebih mahal dan rentan terhadap ketidakstabilan pasar internasional, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani dan sektor industri pangan lokal.
Hal penting lainnya adalah mendorong implementasi Undang-Undang No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dengan memperkenalkan skema kemitraan yang lebih adil antara industri dan petani.
Dengan memberikan insentif kepada industri yang berbasis kerakyatan, kita dapat menciptakan hubungan yang saling menguntungkan, di mana petani memperoleh akses pasar yang adil dan industri mendapatkan bahan baku berkualitas dari sektor pertanian dalam negeri.
Selain itu, evaluasi terhadap UU Cipta Kerja, khususnya dalam klaster pangan dan industri, perlu dilakukan agar tidak mengurangi peran negara dalam menjaga kedaulatan pangan dan perlindungan sumber daya lokal.
Terakhir, penting untuk menyusun regulasi baru yang mengatur integrasi sistem pangan nasional secara holistik, dari hulu ke hilir, yang berbasis pada kemandirian dan keberlanjutan. Regulasi ini harus menciptakan sinergi antar sektor pertanian, industri pangan, dan perdagangan untuk mewujudkan sistem pangan yang berdaulat.
Langkah Strategis untuk Mengintegrasikan Tiga Pilar Pangan
Untuk mengintegrasikan ketiga pilar tersebut, negara harus mengambil langkah-langkah strategis yang tidak hanya sekadar memperbaiki regulasi, tetapi juga menyelaraskan kebijakan yang ada agar mendukung penguatan sektor pangan dalam negeri.
Pertama, revisi regulasi yang ada perlu dilakukan lebih dahulu, dengan tujuan agar lebih mendukung kedaulatan pangan yaitu membatasi dominasi perusahaan besar dalam rantai pasok pangan. Pemerintah perlu memberikan insentif kepada industri yang berbasis pada pertanian rakyat dan memastikan petani kecil mendapat akses pasar yang adil.
Kedua, langkah yang tak kalah penting adalah memperkuat kemandirian pangan dengan mengurangi ketergantungan pada impor. Program swasembada pangan yang dijalankan dengan anggaran besar pada 2025 harus difokuskan untuk mengoptimalkan potensi sektor pertanian domestik dan mendorong hilirisasi produk pangan lokal.
Penguatan sektor pertanian rakyat, yang menjadi tulang punggung ketahanan pangan, harus diperhatikan lebih serius dalam setiap kebijakan yang ada.
Mewujudkan Swasembada Pangan yang Terintegrasi
Unifikasi ketahanan, kedaulatan, dan kemandirian pangan adalah langkah penting untuk menciptakan sistem pangan Indonesia yang berkelanjutan dan kuat. Keberhasilan mengintegrasikan ketiga pilar ini bukan hanya bergantung pada pembentukan kebijakan yang tepat, tetapi juga pada implementasi yang konsisten dan koordinasi yang baik antar kementerian dan lembaga terkait.
Apakah Indonesia akan terus bergantung pada pasar global, ataukah akan mampu berdiri di atas kaki sendiri dengan sistem pangan yang mandiri dan berdaulat?
Pertanyaan ini menuntut kita untuk mempercepat proses unifikasi ketiga pilar pangan dalam satu kesatuan yang mendukung pembangunan nasional.
Dengan sistem pangan yang berpihak pada rakyat dan petani lokal, Indonesia tidak hanya akan mampu bertahan di tengah ketidakpastian global, tetapi juga bangkit sebagai bangsa yang berdaulat atas nasib pangannya sendiri.
Pemerintah harus memastikan bahwa alokasi anggaran yang besar untuk sektor pangan tidak hanya menjadi angka, tetapi sebuah strategi yang terintegrasi untuk mewujudkan swasembada pangan yang berkelanjutan dan berbasis pada kedaulatan pangan Indonesia. (r10)
Discussion about this post