Oleh Syafri Piliang
Wartawan Muda
Padang – Suasana siang itu terlihat sarat dengan formalitas dan seragam rapi tepatnya di Aula Ahmad Yani Makorem 032/Wirabraja Kota bengkuang. Langkah-langkah kecil tampak menuju perubahan besar mulai digoreskan. Rencana Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-125 tahun 2025 digelar. Ini bukan sekadar pertemuan, tetapi cerminan harapan bagi pedalaman yang lama terlelap dalam sunyi.
Ketua DPRD Kabupaten Dharmasraya, Jemi Hendra, hadir membawa suara masyarakatnya. Di balik senyum diplomatis dan kata-kata apresiasi terhadap Korem 032/Wirabraja, tersimpan beban janji pembangunan yang tak ringan. TMMD akan dipusatkan di antara batas administrasi dan realitas yakni perbatasan Kabupaten Dharmasraya dengan Kabupaten Solok Selatan yang merupakan Wilayah yang kerap luput dari sentuhan negara.
Panggung Seremoni, Tapi Bagaimana Nanti di Lapangan?
Program TMMD sering dipuji sebagai wajah humanis TNI, pasukan berseragam yang menembus belantara bukan untuk perang, melainkan membangun negeri” NKRI harga mati”. Namun realita di lapangan kadang jauh dari layar paparan dan statistik pencapaian.
“Pembangunan harus masuk ke hulu, bukan sekadar membenahi jalan di pinggiran,” ucap seorang tokoh pemuda Sukirman dari Nagari Sungai Limau saat diminta tanggapan. Ia bicara soal sekolah tanpa guru tetap, jembatan yang hanya layak bagi pejalan kaki, dan sinyal telepon yang hanya muncul saat angin kencang bertiup dari selatan.
Apresiasi dan Asa, Namun Tetap Perlu Evaluasi
Ketua DPRD Jemi Hendra menaruh harapan pada sinergi yang tercipta antara TNI dan pemerintah daerah. Ia menyebut TMMD sebagai “percepatan pembangunan untuk wilayah yang tertinggal, terisolir, atau terluar.”
Namun, kata-kata itu, meski puitis menyisakan pertanyaan tajam, mengapa pembangunan harus menunggu TMMD..? Mengapa wilayah-wilayah ini baru tersentuh setelah bertahun-tahun ditinggal dalam gelap..?
Membangun Tak Hanya Dengan Beton, Tapi dengan Komitmen
Pembangunan sejati bukan semata soal membangun jalan rabat beton atau jembatan gantung. Ia juga tentang kehadiran negara yang konsisten, bukan insidental. TMMD memang penting, namun seharusnya menjadi pemicu, bukan penambal.
Ketika alat berat TNI kelak mulai menggali tanah di perbatasan itu, masyarakat berharap galian itu bukan hanya meninggalkan pondasi bangunan, tapi juga jejak perubahan yang berkelanjutan. Agar setelah pasukan pulang, janji tak ikut terbang bersama debu kendaraan dinas.
Dusun Sunyi Menanti Janji
Di ujung perbatasan Dharmasraya–Solok Selatan, rumah-rumah panggung berdiri rapuh menanti sentuhan pembangunan. Anak-anak belajar dengan cahaya minyak tanah, dan ibu-ibu menempuh berkilo meter jalan setapak demi menjual hasil kebun.
Mereka tak butuh upacara , tapi mereka butuh hasil. Mereka tak ingin sekadar disebut terluar, akan tetapi mereka ingin diperhatikan.
Dan kini, ketika TMMD ke-125 bersiap memulai, tentu kita harus bertanya lebih keras.
Apakah ini titik awal dari pemerataan, atau hanya sekedar jeda retorika sebelum kembali sepi…? Karena membangun desa tak hanya soal membangun fisik, tapi membangunkan hati nurani .****
Discussion about this post