Oleh: Ikhlas Darma Murya, S.Kom
Awak setuju dengan istilah yang dipakai kakanda Vifner Rangkhoto sewaktu acara koordinasi dan buka bersama yang dihelat Panwaslu Kota Pariaman bersama Tim Gakkumdu yang terdiri dari unsur Panwaslu Kota Pariaman, Polres Pariaman, dan Kejaksaan Negeri Pariaman, media dan stakeholder di Hotel Nantongga pada Rabu (30/5).
Pada sesi tanya jawab berlangsung, Vifner yang mewakili Bawaslu Propinsi Sumatera Barat itu sempat menyinggung tentang kehadiran bandit sang “Penjahat Demokrasi”. Penjahat Demokrasi yang lahir musiman sekali lima tahunan. Kehadiran mereka “diliek tampak diesek taraso”, bergerombolan.
Benar-benar nyata! Awak sendiri merasakan serangan tak manusiawi hasil rekayasa fitnah yang diproduksi oleh Penjahat Demokrasi ini. Tak hayal situasi ini diyakini menjadi pemicu utama nama Kota Pariaman bergema seantero nusantara.
Ini fakta!! Sebab dalam ajang Pilkada Serentak sekarang, rating Kota Pariaman bertengger di posisi nomor tiga terawan sejagad Indonesia. Paling hebat itu pergesekan-pergesekan yang terjadi di media sosial Facebook, jangan pula ditanya?
Dalam empat kali masa transisi pemilihan kepala daerah. Ketika pemilihan walikota pertama dipilih melalui quorum di DPRD. Ke dua, ke tiga, dan keempat (sekarang) dipilih langsung oleh rakyat. Nah, di kali yang ke empat inilah sistem demokratisasi diracuni penjahat.
Keharmonisan yang selama ini dilestarikan oleh para tetua adat di Pariaman seketika dirusak dan dihinakan sekumpulan para Penjahat Demokrasi ini. Barangkali mungkin. Toh.. Demi oh demi memuaskan syahwat politik, halalkan sajalah!
Teramat lazim bandit-bandit ini enggan mengenal kata segan. Sporadis mengobrak-abrik seluruh tatanan yang tercipta apik tadinya; baik itu secara adab, adat dan peraturan perundang-undangan lain yang mengatur nilai luhur demokrasi negara.
Awak haqul yakin jikalau kehadiran bandit-bandit yang seyogianya Penjahat Demokrasi itu sengaja diciptakan dan sengaja dipelihara oleh otak-otak picik lagi sesat berharap memenangkan kompetisi dengan cara ini.
Mereka diasuh oleh oknum kompetitor yang tak populis, terlalu acuh terhadap kearifan dan tidak menunjukkan keberpihakan terhadap rakyat kecil. Visinya tak lain melancarkan upaya provokasi, melakukan adu domba, serta beragitasi untuk lawan-lawan politiknya.
Itulah khas dari kurenah oknum yang memiliki otak-otak kotor yang gemar berbuat culas demi suksesi, menghalalkan semua cara guna meraih simpatik publik.
Cipta kondisi yang dibangun oleh oknum kandidat yang berotak kumuh lagi cemar ketika memakai jasa bandit-bandit sang Penjahat Demokrasi ini mudah diterka dalang perusak suasana “Pilkada Badunsanak” (KBBI: Pilkada Kekeluargaan).
Pasalnya serangan bandit-bandit bayaran yang sejatinya menunjukkan aib kebodohan diri mereka sendiri itu dengan masif menghasut dan lancarkan ujaran beraroma fitnah kebencian ditujukan kepada kompetitor kuat lainnya.
Sasarannya juga tidak pandang bulu, dengan dibopong oleh ratusan akun-akun palsu yang berasal dari kelompok mereka, siapapun akan diserang kalau tak sepandangan dan sepilihan dengan mereka.
Sudah jelas. Oknum yang menggunakan jasa Penjahat Demokrasi ini tujuannya adalah mencari keuntungan politis ketika berkompetisi, menghancurkan karier politik rival-rival terberat mereka yang notabene kompetitor di Pilkada Pariaman.
Harus diakui. Kendati serangan-serangan brutal yang diluncurkan para Penjahat Demokrasi ini masif membombardir rival, tak satupun membawakan mudharat untuk tim penjahat. Sebab serangan yang dibuat tersebut lebih menjurus ke persoalan pribadi yang sama sekali tak bernuansa politis sikit pun.
Tragisnya malah yang terpantau sejauh ini, berdasarkan hasil survei elektabiltas dilihat dari keterangan beberapa lembaga survei membuktikan bahwa trend elektabilitas kandidat dukungan para bandit sang Penjahat Demokrasi ini terus menurun.
Sebaliknya elektabilitas kandidat calon yang mereka hantam mengalami kenaikan signifikan, di banding dengan hasil elektabilitas di awal-awal pendaftaran atau saat penetapan nomor urut calon di KPU.
Begitulah. Bisa Anda bayangkan! Kota kecil berusia belasan tahun dengan 4 kecamatan masih dalam kondisi ‘labil’, katakanlah masih dalam tahap belajar mendalami ilmu tatanan pemerintahan pasca berotonomi, dengan jumlah DPT terhitung 59.245 orang, luluh lantak oleh bandit-bandit bayaran tadi.
Discussion about this post