Oleh : IDM (Pemerhati Sepakbola)
Tahun ini tim kesebelasan kebanggaan Kota Pariaman-Persikopa U-17 tak ikut berkompetisi dalam turnamen Piala Soeratin. Pemain Persikopa sekarang dipaksa menahan hati di kandang sendiri, oleh pengurus yang bisanya hanya tendensius dan tak becus mengurus.
Demikianlah dampak dari sebuah peristiwa memilukan dan memalukan, jika sepakbola dijadikan alat dan/atau agenda politik tertentu dari pengurus, bukan sebagai sarana memupuk sportivitas dalam berolahraga.
Sejak tahun 2022, tepatnya 2 Agustus 2022, 14 bulan menjelang periodesasi Genius Umar mangkat sebagai Walikota Pariaman. Sejak itu pula Persikopa dijadikan komoditas politik. “Dijual” ke publik, dijadikan tumbal demi elektoral di Pilkada. Hanya saja kita yang tidak tau bahwa selama ini kita dibohongi pengurus.
Sejak Persikopa beralih kepengurusan, melalui Keputusan Walikota Pariaman nomor: 241/420/2022, tanggal 2 Agustus 2022 itu. Kita semua dikecoh. Para pengurus Persikopa kompak berkonspirasi dengan mengumbar opini sesat: Ketua Umum Persikopa adalah ex-officio Walikota Pariaman. Artinya kesebelasan itu sekarang berplat merah, maka siapapun walikota-ia-adalah ketua umum, seperti itulah mulut mereka menebar propaganda.
Perihal itu dilakukan untuk menutupi agenda politik yang sedang disusun rapi. Satu di antara banyak strategi untuk memenangkan kontestasi di Pilkada nanti. Tak apalah sepakbola dikorbankan. Toh! olahraga ini paling laku sejagad. Banyak peminat dan orang pun peduli.
Padahal dalam keputusan itu, jabatan Walikota hanya selaku pembina. Sementara ketua umumnya adalah Dr. Genius Umar, S.Sos, M.Si, lengkap gelarnya ditulis di sana selaku pribadi (person).

Demi memasifkan langkah politisnya, ditunjuklah “pejabat naturalisasi” yang diimpor dari daerah tetangga, pada saat itu dipercaya memegang jabatan yang paling basah dan paling tajir sebagai kepala keuangan daerah (BPKAD).
Kita taulah, kalaulah pejabat naturalisasi dapat memegang jabatan penting di sebuah pemerintahan, barang tentu manusianya punya loyalitas mumpuni terhadap atasan. Ya, Buyung Lapau adalah ketua harian Persikopa. Di bawah Buyung Lapau ada sejumlah nama yang sebaun dengan Genius.
Tak ketinggalan, Hendri Chaniago, S.Sos, Kepala Bappeda Kota Pariaman juga mengisi salah satu jabatan ketua divisi di struktur pengurus Persikopa, orang yang paling dekat dengan Genius sejak zaman sekolah dulu. Dengan demikian, sudah 2 orang pejabat TPAD Kota Pariaman dilibatkan dalam kepengurusan Persikopa.
Lantas permasalahan yang sekarang terbukti! Bahwa pengurus Persikopa adalah mereka yang tendensius dan memang tak becus dalam mengurus klub. Dan wajib diberangus! Sebab, mereka telah mengotori Persikopa-klub kebangaan-warga Kota Pariaman dengan agenda politik joroknya.
Alhasil, Persikopa tahun ini tak ikut dalam turnamen Piala Soeratin U-17, setelah 2 kali berturut-turut berhasil mececahkan kaki di konteks nasional sebagai juara runner-up. Prestasi itu dikubur hidup-hidup karena Ketua Umum Persikopa Genius Umar tak bergeming.
Lha, buat apalagi Persikopa? Toh, misinya untuk mempertahankan tahta sebagai Walikota Pariaman untuk periode kedua saja gagal di Pilkada.
Tak ada jalan bagi Genius dan pengurus harian untuk menggerakkan Persikopa. Karena butuh budget yang besar untuk memajukan sepakbola. Jalan satu-satunya untuk menutupi malu adalah memainkan politik playing victim.
Mereka kembali menjual nama besar Persikopa, namun kali ini dengan memposisikan diri sebagai korban, karena walikota yang baru Yota Balad, yang mereka dustakan sebagai ex-officio Persikopa, tak mau memberikan siraman dana. Lantas dijadikan kambing hitam penyebab kegagalan.
Padahal Buyung Lapau cs tau, jika saat ini Indonesia tengah mengalami himpitan fiskal keuangan, dengan menerapkan efisiensi anggaran. Belanja transfer ke daerah dipotong besar-besaran oleh pusat.
Tak sampai di sana, politik playing victim terus terus dimainkan untuk mempengaruhi sentimen publik terhadap Walikota Yota Balad yang dustanya tak peduli Persikopa, kendati hubungan antara Yota Balad sebagai walikota dengan Persikopa itu tak ada.
Kali ini Wakil Ketua Harian Persikopa, Erasmus di beberapa media online lokal mengumbar malu, mengatakan sudah mengupayakan untuk berdialog dengan Walikota Pariaman Yota Balad sebagai ex-officio.
Dustanya Erasmus, menyebut sudah 10 kali dirinya bolak-balik mencoba mencari waktu menghadap Yota Balad. Dari ruang kantor walikota hingga ke pendopo, untuk membicarakan nasib Persikopa yang saat ini sudah diberangus oleh pengurusnya sendiri.
Tentu saja Yota Balad tak berdiam diri dengan dusta yang beredar ini. Melalui sambungan telpon semalam, Sabtu (26/7), Yota membantah keras argumen Erasmus, ia mengatakan hal itu tak pernah terjadi. Bahkan ketika dirinya bertemu dengan Erasmus di lapangan tenis Gor Rajo Bujang, Wakil Ketua Harian Persikopa itu tak berucap seaptah kata pun.
“Bahkan ketika itu saya bertemu dengan Erasmus, di lapangan tenis. Dia hanya diam saja. Tak ada satu kata pun yang keluar darinya tentang Persikopa,” ujar Yota.
Erasmus mengaku, saat ini pengurus beramai-ramai mengundurkan diri karena tak mampu berkontribusi. Ia juga meminta agar Persikopa dikembalikan lagi ke insan sepakbola jika pemerintah tak mampu mengelola lagi. Pertanyaannya, sejak kapan Persikopa dikelola oleh daerah?
Sudahlah! Jangan tebar dusta di antara kita. Mengorbankan Persikopa untuk kepentingan dan syahwat politik sesaat. Hal itu hanya memperburuk citra pengurus yang tak becus dalam mengurus sepakbola. Hanya menampakkan kebiasaan yang pandainya sekedar “makan ke dalam” saja. Dengan mengandalkan dana bantuan daerah yang sifatnya stimulan. Parah!
Discussion about this post