Oleh : Ikhlas Darma Murya, S.Kom (Wartawan Utama)
Lebih dari setahun bergulir, isu pembangunan Tarok City sebagai pusat kawasan pendidikan mulai berjalan bersamaan dengan polemik yang dihadangnya. Kegencaran promosi oleh Pemda Padang Pariaman ‘menjajakan’ kawasan Tarok, melalui media lokal hingga nasional ke pusat, menobatkan isu kawasan Tarok menjadi ‘seksi’.
Isu ini diakui tak pernah sepi menemani ruang public. Padangan serta pemikiran yang bernas mengisi bahan perdebatan. Menggelitik. Siap memantik banyak langgam lawan diskusi. Tetapi di luar itu semua, dilema pembangunan Tarok City yang disesaki kontroversi itu, sekelebat juga mengundang teka-teki.
Begitu primordialnya persoalan Tarok City ini, direspon baik oleh beberapa pejabat tingkat pusat dan provinsi. Tetapi, sedikit berlebihan jika rasanya statmen penguasa yang mengklaim lembaga-lembaga tinggi negara, katanya hendak menanam investasinya di sana. Oh, ya?
Dipikir-pikir, sekilas tentang Tarok City, roman kebengisan dan ketamakan penguasa yang keukeuh dengan ambisinya ingin menyulap kawasan Tarok ini untuk kepentingan pribadi serta sekelompok golongan, sekilas terpancar di sana. Sebab, Tarok yang tadinya adalah kawasan hutan serapan, dalam hitungan bulan wajah kawasan Tarok berubah. Ratusan hektare hutan serapan dibabat. Tak heran indikasi itu menyisakan pertanyaan dan kritikan dari berbagai pihak, yang notabene menyudutkan AM sebagai penguasa di daerahnya.
Mengenal wajah baru Tarok City saat ini, ialah hasil implementasi program smart city yang coba dikembangkan Bupati Padang Pariaman, Ali Mukhni (AM). Seperti penjelasan di atas, Tarok City kawasan yang menurut wacananya bakal disulap menjadi Kawasan Pendidikan Terpadu Tarok City (KPTTC). Kawasan ini berada di Korong Tarok, Kanagarian Kapalo Hilalang, Kecamatan 2 x 11Enam Lingkung.
Persoalan Tarok City ini perlahan mulai mencuat setelah wacana Pemkab Padang Pariaman yang ingin merealisasikan program pembangunan pendidikan terpusatnya, dianulir legislatif. Ketika itu pada awalnya proses pembahasan antara dua lembaga (eksekutif dan legislatif) ini menemukan jalan buntu. Saling ‘bergontok-gontokan’ akibat tak sinkronnya kebijakan. Kontrol dari lembaga legislatif dengan vulgar mengawal serta menganulir borok eksekutif ihwal pembangunan Tarok, mendapat sambutan hangat masyarakat.
Alasannya legislatif saat itu, persoalan pembangunan kawasan Tarok City dengan konsep smart city terkendala dengan AMDAL. Terlebih perseteruan mengenai kepemilikan lahan dengan masyarakat yang belum jelas statusnya.
Sayang, ulah kelacuran para wakil rakyat ini dalam berjuang menyampaikan aspirasi, agaknya memang gampang “ditakar”. Alhasil pun, drama perseteruan antara legislatif dengan eksekutif tersebut, tak berlangsung lama. Idealisme wakil rakyat yang membawa nama besar lembaga legislatif diharapkan konsisten memperjuangkan hak dan kepentingan masyarakat banyak itu, ujug-ujug berpaling muka.
Padahal sejatinya, Korong Tarok memiliki fungsi sebagai wilayah resapan air. Karena efektivitas keberadaan hutan Tarok tak lain berfungsi sebagai area daerah resapan air, sebagai penopang ekosistem alam yang saling terintegrasi. Berkat hutan Tarok-lah, 28% populasi di Kabupaten Padang Pariaman dialiri oleh air yang berasal dari hulu air Tarok. Terutama bagi mereka yang menggantungkan hidup di bidang pertanian dan perikanan.
Ambisi mengalahkan naluri. Penguasa merdeka. Planingnya dalam merencanakan pembangunan berbasis kawasan pendidikan terpadu, dengan luas lahan mencapai 5.000 hektare itu perlahan terealisasi. Kelak kawasan itu, katanya akan menjadi pusat pertumbuhan baru di Sumbar dengan memadukan sektor bisnis, industri, perdagangan, pendidikan dan kesehatan.
Dengan demikian. Pupus sudah harapan masyarakat yang ingin berupaya melestarikan kawasan Tarok dengan segala fungsi kebaikan alam dan lingkungannya itu. Dengan bungkamnya suara para wakil rakyat, menjadi sinyal kuat bahwasanya “kejahatan” yang dilakukan penguasa di kawasan Tarok, kini “diperkosa” oleh ambisi sesaat penguasa, aturan aturan yang mempunyai ketetapan hukum dilabrak secara berjamaah.
Ya, begitu besar ambisi penguasa dalam aksinya. Bersikap apatis terhadap kompleksitas persoalan yang membelenggu kawasan hutan Tarok. Merealisasikan pembangunan tanpa kajian, serta analisa ilmiah tentang fungsi kawasan Tarok beserta ekosistem alam dan polaritas lingkungan yang ditopangnya.
Semoga saja pameo yang menjadi kegamangan banyak kalangan selama ini, menilai kebijakan pembangunan kawasan Tarok tanpa kajian yang jelas serta terkesan dipaksakan, sama halnya dengan menciptakan “neraka dan bala” baik untuk penguasa maupun pada masyarakat, tidak terjadi demikian. ***
Discussion about this post