Oleh: Dian Istiqomah
(Anggota DPR RI 2019-2024)
Kebijakan tarif 19 persen yang diembuskan Washington terhadap produk-produk Indonesia, entah itu baja, kertas, atau tekstil, bukan sekadar riak kecil dalam arus perdagangan internasional.
Ini adalah lonceng kematian bagi ilusi perdagangan bebas tanpa friksi, sekaligus peringatan keras bagi Jakarta untuk mereformasi total strategi ekonomi dan diplomasinya.
Di bawah bayang-bayang kebijakan “America First” Donald Trump, dunia dan Indonesia dipaksa memahami satu hal: proteksionisme adalah hantu yang kembali menghantui, dan tidak selalu rasional.
Realitas Geopolitik
Pelajaran terpenting dari episode ini adalah bangkitnya kembali unilateralisme dan proteksionisme dalam kebijakan dagang Amerika Serikat. Ini bukan anomali sesaat, melainkan indikasi pergeseran paradigma geopolitik-ekonomi global yang makin mengutamakan kepentingan domestik.
Ekonom peraih Nobel, Paul Krugman, mengakui bahwa kebijakan ini dapat muncul sebagai respons terhadap ketidakseimbangan ekonomi atau distorsi pasar. Negara-negara berkembang seperti Indonesia harus siap menghadapi ketidakpastian akut di pasar global.
Ketergantungan pada satu pasar raksasa seperti AS ibarat menggantungkan nasib di ujung tanduk.
Diversifikasi pasar adalah harga mati, bukan sekadar pilihan. Lebih dari itu, kita dituntut untuk meningkatkan daya saing produk ekspor kita agar tidak mudah dituduh melakukan dumping atau subsidi tak adil, meskipun tuduhan itu seringkali berbalut motif politik.
Proses negosiasi pun tak ubahnya arena pertarungan adu kuat data dan lobi. Dimulai dari penyelidikan oleh US International Trade Commission (USITC) atau petisi dari pelaku industri AS, Indonesia melalui Kementerian Perdagangan dan perwakilan dagang di Washington harus berjuang keras membuktikan bahwa produk kita tidak merugikan industri Paman Sam secara tidak adil.
Celakanya, kemenangan tidak hanya ditentukan oleh bukti hukum semata, melainkan juga kekuatan diplomatik dan ekonomi.
Mekanisme World Trade Organization (WTO) yang seharusnya menjadi juru damai, seringkali terhambat oleh politisasi dan veto, membuat jalan buntu terasa lebih dekat. Contoh konkret, Indonesia pernah kalah dalam sengketa impor produk pertanian dengan AS di WTO, menunjukkan tantangan kapasitas hukum dan lobi kita yang masih perlu diperkuat.
Dalam setiap negosiasi, Indonesia sering dihadapkan pada buah simalakama. Konsesi tertentu, seperti membuka pasar untuk produk AS yang sebelumnya dibatasi atau menjamin transparansi regulasi, seringkali menjadi harga yang harus dibayar demi menjaga akses pasar.
Namun, imbal baliknya tidak selalu sepadan. Ini mencerminkan posisi tawar Indonesia yang masih terbatas di panggung perdagangan global. Dampak tarif 19 persen ini sungguh brutal bagi industri dan konsumen Indonesia.
Bayangkan: pabrik-pabrik tekstil atau baja terpukul, biaya produk jadi melonjak di pasar AS hingga daya saing kita menukik tajam. Pemutusan kontrak, penurunan volume ekspor, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) massal menjadi ancaman nyata.
Rantai pasok yang sudah terintegrasi pun bisa terganggu jika komponen impor dari AS juga dikenai respons balik. Pada akhirnya, konsumen di Tanah Air ikut terdampak.
Inflasi bisa mengintai jika harga barang jadi melambung akibat biaya produksi dan distribusi yang lebih tinggi. Iklim investasi pun menjadi keruh, di tengah ketidakpastian yang membayangi.
Strategi Transformasi
Melihat ke Asia Tenggara, negara seperti Vietnam, Thailand, atau Malaysia seringkali mendapat perlakuan lebih lunak dari AS. Mengapa? Karena mereka lebih proaktif dalam merajut perjanjian perdagangan bebas (FTA) yang komprehensif dengan AS atau mitra strategis lainnya.
Mereka juga lebih aktif dalam melobi dan menunjukkan kepatuhan terhadap aturan perdagangan internasional. Laporan-laporan UNCTAD secara konsisten menyoroti bagaimana lanskap perdagangan global makin kompleks dengan kebijakan industri yang muncul kembali dan ketidakpastian regulasi.
Indonesia, di sisi lain, masih sering dianggap lambat dalam meratifikasi atau bergabung dengan perjanjian strategis seperti CPTPP, bahkan dalam mendalamkan RCEP. Persepsi birokrasi yang rumit dan kebijakan yang kurang konsisten di mata investor AS membuat kita kurang menarik dibanding tetangga yang “lebih ramah investasi”.
Ancaman lain tak kalah mengerikan dan harus diantisipasi. Peninjauan ulang Generalized System of Preferences (GSP) yang sempat membuat Indonesia kehilangan fasilitas istimewa di era Trump, bisa datang lagi kapan saja. Tuduhan dumping atau subsidi ilegal bagaikan pedang Damocles yang terus menghantui.
Jangan lupakan juga tekanan geopolitik, di mana tarif seringkali digunakan sebagai alat politik untuk memaksakan posisi dalam isu Tiongkok atau lingkungan hidup. Ke depan, ancaman tarif karbon (Carbon Border Tax) juga bisa menyusul, menjadi tantangan baru bagi produk ekspor kita yang terikat dengan isu keberlanjutan.
Apa yang bisa kita petik dari semua ini? Kebijakan dagang tidak selalu rasional—ia kental dengan unsur politik dan kepentingan domestik. Oleh karena itu, Indonesia harus merevolusi diplomasi ekonomi dan perdagangannya.
Bukan hanya fokus pada produksi semata, tetapi juga pada kemampuan negosiasi yang tangguh. Kita butuh “tentara” ahli hukum perdagangan internasional yang mumpuni untuk menghadapi setiap tuntutan.
Dani Rodrik, ekonom Harvard, dalam bukunya The Globalization Paradox, berargumen bahwa negara perlu menemukan keseimbangan antara globalisasi dan kedaulatan nasional, mempertahankan ruang kebijakan domestik untuk pembangunan.
Ini relevan dengan pentingnya diversifikasi pasar ke ASEAN, Eropa, Afrika, bahkan pasar-pasar non-tradisional lainnya adalah kunci untuk mengurangi ketergantungan. Yang tak kalah penting, kita harus berani naik kelas dalam rantai nilai global, agar tidak lagi terjebak di hilir sebagai eksportir bahan mentah atau barang jadi berteknologi rendah.
Pada akhirnya, episode tarif ini adalah panggilan untuk membangun kemandirian ekonomi yang lebih kuat. Kemandirian yang menjadi fondasi utama kekuatan negosiasi kita di hadapan raksasa ekonomi mana pun.
Red/amr
Discussion about this post