Oleh Syafri Piliang
Wartawan Muda
Dharmasraya – Di bawah tenda pesta yang dihias janur kuning dan harapan, di Jorong Sungai Belit, Nagari Gunung Selasih, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumbar Kamis siang (18/07/2025).
Dalam suasana alek anak keponakan dari Agusnadi Dt. Rajo Adil anggota DPRD dan juga politisi partai Gerindra , bukan hanya pengantin yang menjadi sorotan. Di antara nasi kuning, bunga melati, dan doa-doa panjang, sebuah suara menembus keheningan dan bukan dari biduan profesional melainkan dari seorang Wakil Ketua DPRD Dharmasraya Sujito nama lengkapnya.
Lagu yang dipilihnya bukan sembarang tembang. “Demi Kau dan Si Buah Hati”, yang diiringi orgen tunggal N 3 G musik. Lagu legendaris ini sebuah balada yang mengalun lirih tentang pengorbanan dan cinta tak bersyarat, menggema dari mulut seorang politisi partai berlambang beringin. Dan sore itu, pohon beringin seakan tak hanya meneduhkan, tapi juga menyanyikan.
Suara Sujito tak mungkin disamakan dengan penyanyi tenar di negeri ini. Tapi justru dari ketidaksempurnaan itulah muncul kekhasan, nada-nada tulus yang mengandung keberanian.
Panggung resepsi, yang biasanya penuh formalitas basa-basi pejabat, berubah menjadi ruang keakraban, ketika ia naik dengan percaya diri, bukan sekadar membawa senyum protokoler, tapi juga sebait syair dan keberanian untuk menjadi manusia biasa.
Para tamu undangan tertegun. Di tengah rutinitas politik yang kadang kaku, jarang sekali seorang legislator memilih bernyanyi, bukannya berpidato. Ia tidak berbicara soal pembangunan jalan atau janji kampanye. Ia menyanyikan cinta, yang barangkali di mata rakyat lebih menyentuh dari pada seribu kata sambutan.
Sujito tidak hanya hadir sebagai pejabat yang menyaksikan pernikahan. Ia hadir sebagai bagian dari masyarakat yang tahu bagaimana menyatu, menari dalam gembira, dan menunduk dalam doa.
Di hari pernikahan Fandi dan Nurul, cinta bukan hanya milik dua sejoli, tapi juga milik mereka yang masih percaya bahwa pemimpin bisa hadir bukan sekadar lewat kebijakan, tapi lewat kehangatan suara.
Dan sore itu, suara sumbang tak jadi soal. Karena di hadapan rakyat, keberanian untuk jujur dan menjadi apa adanya, adalah tembang yang paling jarang terdengar dari atas panggung kekuasaan.
Dalam sebuah pesta sederhana di pelosok Dharmasraya, publik melihat potret berbeda dari seorang pemimpin. Bukan soal vokal yang merdu, tapi tentang simbol keberanian untuk melepas ego politik.
Membaur dengan rakyat dan menghidupkan panggung kecil dengan penuh kehangatan suara yang besar lagi ber makna. Mungkin, inilah yang seharusnya lebih sering kita dengar lagu-lagu dari hati, bukan hanya janji-janji dari podium yang ada disinggasana seperti kerajaan yang ada pada masanya ,sebegitu benar lah wakil rakyat yang merakyat.***
Discussion about this post