Oleh Syafri Piliang
Wartawan Muda
Dharmasraya – Seleksi terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (JPTP) di Kabupaten Dharmasraya seolah menjadi cermin kecil dari paradoks birokrasi kita: antara idealisme reformasi dan realitas patronase yang belum juga pupus. Di atas kertas, proses ini menjanjikan transparansi dan akuntabilitas. Namun di lapangan, aroma kehati-hatian dan ketakutan masih kental terasa.
Persyaratan rekomendasi dari Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) menjadi titik rawan. Ketentuan ini memang legal secara administratif, tetapi implikasinya sangat besar. Ia menciptakan saringan awal yang tidak selalu berbasis kompetensi, melainkan restu. Maka, sebelum beradu gagasan dan pengalaman, banyak calon sudah terhenti di meja tanda tangan.
Fenomena ini menegaskan bahwa birokrasi kita belum sepenuhnya bebas dari kultur patrimonial. Dalam sistem seperti ini, jabatan masih dianggap “hak prerogatif” pemimpin, bukan hasil kompetisi yang adil. Padahal, semangat reformasi aparatur negara justru menuntut objektivitas dan meritokrasi sebagai dasar utama pengisian jabatan.
Pemerintah daerah tentu berhak menegakkan aturan. Namun, aturan yang baik harus membuka peluang, bukan menutup ruang. Jika setiap pejabat harus menunggu restu sebelum melangkah, maka reformasi akan terus berjalan di tempat. Mereka yang berkompeten bisa terpinggirkan hanya karena tidak berada di lingkar kepercayaan tertentu.
Seleksi JPTP seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat kepercayaan publik terhadap birokrasi daerah. Transparansi tidak cukup hanya dengan mengumumkan nama dan jadwal. Ia menuntut keberanian untuk memastikan bahwa setiap peserta memiliki peluang yang sama, tanpa tali yang mengikat dari atas.
Pepatah lama Minangkabau menyebut, “Bukan lapeh indak batali,” tidak benar-benar lepas, meski tampak dibiarkan. Dalam konteks ini, ungkapan itu terasa begitu tepat menggambarkan wajah seleksi jabatan di Dharmasraya.
Reformasi birokrasi memang sudah berjalan, tapi belum sepenuhnya merdeka. Yang dibutuhkan kini bukan sekadar sabar, tapi keberanian untuk benar-benar melepaskan tali itu seperti jembatan kembar bercat merah yang melintasi sungai batanghari tanpa pesan.***
Discussion about this post