Bukittinggi, sejak dahulu kala tercatat sebagai daerah yang penuh dengan gerakan-gerakan yang memang patut dicatat untuk menjadi pegangan bagi pemerintah daerah termasuk masyarakat, sebagai tonggak sejarah untuk menjadi dasar sekaligus motivasi serta sugesti melangkah ke masa depan yang lebih baik.
Ditinggali oleh berbagai etnis dengan bentuk-bentuk nilai sosial-budaya atau kultur, sesungguhnya merupakan potensi penunjang perkembangan kota Bukittinggi dan masyarakat itu sendiri.
Beranjak dari kondisi dan potensi itulah, serta situasi politik nasional pada awal reformasi saat itu, sejumlah tokoh Bukittinggi melakukan pertemuan dengan walikota terpilih waktu itu Drs. H. Djufri di kediamannya, Nagari Kapau, Tilatang, Agam.
Kala itu, Djufri yang semula menjabat sebagai Sekretaris Kota Bukittinggi, memenangkan pemilihan calon Walikota Bukittinggi berpasangan dengan Drs. Khairul Hamdi, pemilihan terakhir yang masih dilakukan anggota DPRD, malamnya akan menerima surat pengangkatannya yang bakal diantarkan oleh Kabag Tapem, Drs. Djasmansyah. Sebelum menerima mandat untuk memimpin kota wisata ini, ingin berkonsultasi dan menerima masukan dari sejumlah tokoh Bukittinggi.
Pada pertemuan bersejarah tersebut, beberapa tokoh masyarakat Bukittinggi dari berbagai kalangan melakukan dialog dengan Walikota Bukittinggi terpilih tentang apa program yang perlu dilakukan untuk menghadapi, mendinginkan situasi yang tengah terjadi sekaligus diharapkan menjadi tonggak sejarah bagi daerah ini nantinya.
Para tokoh tersebut adalah Ridmaidi (birokrat), Nasrul M. Phietra (alm/birokrat), Zulfian Mami (alm/Swasta), Nursyam Syam (alm/birokrat), Imran Pado (alm/birokrat), Irfianda (alm/birokrat), Chon Piliang (swasta) Adeks Rosyyie Mukrie (birokrat/wartawan).
Kesemua orang tersebut, meski kebanyakan berasal dari birokrat, namun juga aktif pada sejumlah organisasi sosial-kemasyarakatan dan pernah pula melaksanakan sejumlah event yang pernah dilaksanakan di Kota Bukittinggi, baik sebelum maupun sesudah Pedati.
Para tokoh itu pulalah yang diharapkan Djufri, yang kemudian diharapkan bisa melahirkan gagasan, yang dapat melahirkan program yang tidak hanya memberikan dampak positif terhadap kepemimpinannya serta mampu melahirkan dampak positif terhadap masyarakat, apalagi kondisi negara bahkan dunia tengah mengalami resesi ekonomi.
Djufri memasang perlu menyatukan visi dan misi sekaligus gerakan masyarakat untuk menghadapi resesi, menjadi kekuatan bersama dalam menjalankan roda pemerintahannya nanti.
Setelah melakukan diskusi yang cukup panjang, Adeks Rosyyie Mukrie menjelaskan, diperoleh kesepakatan untuk melaksanakan sebuah ivent berkaitan budaya seni serta sekaligus pameran perdagangan dan industri.
Oleh (alm) Maderizal, aktivis organisasi dan politisi yang menjelang kepulangannya ke Rahmatullah, menjadi anggota DPRD Kota Bukittinggi, akhirnya mengusulkan nama kegiatan yang bakal digelar dinamakan saja dengan nama Pesta Budaya Seni Pameran perdagangan dan Industri yang disinonimkan dengan PEDATI. Usul itu diterima, sehingga jadikan ivent yang direncanakan bisa berlangsung setiap tahun di Kota Bukittinggi.
Sedangkan melahirkan ide, gagasan sampai deklaratornya, menurut Adeks sepenuhnya adalah Drs. Djufri, Walikota Bukittinggi pertama di era reformasi dan kemudian memimpin selama dua periode. Menjelang berakhirnya masa jabatan keduanya, Djufri yang waktu itu menjadi Ketua DPRD Partai Demokrat Provinsi Sumatera, bahkan ikut terpilih menjadi anggota DPR-RI hasil Pemilu tahun 2009. (bersambung)
Discussion about this post