Oleh Syafri Piliang
Wartawan Muda
Dharmasraya – Di balik hamparan nan hijau daun kelapa sawit yang menari ditiup angin, terselip keresahan yang kian menebal di dada para petani. Bukan soal panen, bukan pula tentang harga pasar yang naik-turun seperti ombak. Tetapi tentang satu hal yang lebih dalam: hak atas tanah yang mereka rawat dengan peluh dan harap.
Ketua KUD Lubuk Karaya Jhon Nasri yang juga Sekretaris DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Provinsi Sumatera Barat, yang kini juga sedang menjabat sebagai Plt DPD Apkasindo Kabupaten Dharmasraya tak menutup kegelisahannya pada Rabu (06/8/2025) ketika berada di Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumbar.
Ia menyayangkan langkah pemerintah, yang menurutnya melangkah sendiri, dalam menjalankan penertiban kawasan hutan (PKH) tanpa melibatkan unsur muspika, tokoh masyarakat, ninik mamak, dan tentu saja, para petani itu sendiri, meski dilibatkan tapi tak banyak.
“Kami bukan menolak, tapi menginginkan keadilan dalam pelaksanaan.Jangan ada penertiban yang meninggalkan luka dan lari dari komitmen awal, ” ucapnya lirih, namun tegas.
Memang, Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 memberi dasar hukum atas penertiban kawasan hutan. Namun, tanah yang kini dihuni pohon sawit bukanlah tanah yang baru dijamah kemarin sore. Tanah-tanah itu telah dipinang oleh petani bertahun-tahun lalu, dengan izin lisan dan restu adat dari ninik mamak. Tanah itu tumbuh bersama kenangan, cucuran keringat, dan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Ironisnya, hingga hari ini, belum ada satu pun sosialisasi yang menyentuh akar rumput. Pemerintah pusat seolah bicara pada langit, lupa menapak tanah tempat rakyat berdiri. Petani kebingungan, tanah yang mereka rawat tiba-tiba menjadi ‘ilegal’ hanya karena garis batas baru.
“Kalau begini caranya, jangan heran jika para cukong tanah mengendus peluang untuk mencari keuntungan. Dalam sunyi, mereka menari di atas kebingungan para petani kecil yang di terpa dalam.keraguan seperti yang sedang terjadi saat ini ,” ujar Jhon sembari memperingatkan.
Tak hanya soal legalitas, ini soal keadilan. Tentang bagaimana suara rakyat kecil kembali diabaikan di tengah gegap gempita penertiban. Padahal, jika mau jujur, bukankah tanah ini telah lebih dulu dimaknai oleh adat, oleh masyarakat, oleh sejarah panjang dimasanya ,sebelum dokumen negara mengetuk palu untuk perubahan.
Jhon menegaskan, Apkasindo tidak pernah menentang upaya pemerintah menjaga kelestarian hutan.Tapi penertiban tanpa melibatkan pihak-pihak adat dan masyarakat adalah seperti menanam di tanah gersang, tak akan tumbuh kecuali yang tersisa hanya luka.
“Kami ingin duduk bersama, bukan diadili tanpa suara. Kami mendukung, tapi libatkan kami, petani, ninik mamak, tokoh adat dalam tiap detik perubahan.”
Di Sumatera Barat, tanah bukan sekadar lahan. Ia adalah warisan, napas, nadi kehidupan, dan identitas. Maka, ketika sawit dianggap duri oleh kebijakan, seharusnya bukan penebangan yang dipilih, tapi butuh dialog.
Sebab sawit mungkin bisa ditebang. Tapi luka batin dan rasa tidak adil terutama bagi para petani.Tak ada alat berat yang mampu mengangkatnya dari tanah hati para petani.****
Discussion about this post