Oleh: Syafri Piliang
Dharmasraya – Pagi itu cuaca masih lembab, suasana langit agak sedikit cerah. Di kejauhan terdengar suara parang dan mesin pemotong rumput saling bersahutan di antara batang – batang sawit yang menjulang. Aroma tanah masih basah bercampur dengan dedaunan yang baru dipangkas Kamis (1/05/2025).
Di tengah kebun sawit milik kaum suku Piliang, puluhan anggota keluarga besar berkumpul. Laki-laki, perempuan, tua dan muda – semuanya hadir dengan semangat yang sama bergontong royong, sebuah warisan adat yang masih hidup sampai hari ini.
Kegiatan ini bukanlah sekadar kerja bakti. Ini adalah perwujudan dari nilai yang telah mengakar sejak zaman saisuak dalam kebersamaan serta menjaga harta pusaka dan mempererat hubungan tali budi melalui kerja bersama penuh makna.
Tanah yang di garap sebelumnya bukan tanah ulayat atau tanah adat melainkan tanah yang dibeli dengan kebersamaan, milik kaum suku piliang. Dari masa kemasa kendati ” patah tumbuah hilang baganti” akan diwariskan secara turun-temurun kepada generasi berikutnya.
Di Minangkabau, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan simbol identitas dan keberlanjutan kaum. Oleh sebab itu, pengelolaan tanah sawit ini bukan dilakukan secara individual, melainkan dengan kebersamaan demi kepentingan dan keutuhan kaum.
“Ini bukan kebun pribadi. Ini milik bersama. Hasilnya untuk semua anak kemenakan,” kata Nasrul Jalal Datuk Bandaro Mudo, sebagai pucuk pimpinan dalam kaum suku piliang sembari menyeka peluh dari bagian dahinya. Ia memimpin langsung kegiatan ini, membagi tugas, dan memastikan tidak ada satu pun yang tertinggal.
” Dari 560 KK saling mengayomi bak seperti pepatah minangkabau ” sadantiang bak basi, saciok nan bak ayam, kabukik samo mandaki kalurah samo manurun ,” ucapnya dengan rasa kebersamaan.
Goro – Bekerja, Beradat, Bersatu Berpacu Mengejar Waktu
Sejak pagi, hingga siangnya para anggota kaum sudah berkumpul. Mereka membawa bekal, peralatan kerja, dan semangat yang diwariskan secara turun-temurun. Para wanita menyiapkan makanan untuk disantap bersama di siang hari, sementara yang berjinih dan bundo kanduang, pemuda dan pemudi turun ke kebun.
Tak ada yang merasa lebih tinggi dari yang lain. Anak muda belajar dari yang tua, dan yang tua memberi teladan dalam diam. Setiap batang sawit yang dibersihkan, salah satu bukti nyata bahwa adat tidak hanya hidup di lisan, tapi juga di tangan yang bekerja.
Lebih dari Sekadar Sawit
Hasil panen dari kebun sawit ini tidak dibagi berdasarkan jumlah kerja, tetapi dikelola oleh kaum untuk kebutuhan bersama. Biaya pendidikan, perbaikan pandopo, bantuan sosial lainnya untuk anggota kaum yang sedang sakit atau mengalami musibah, semuanya berasal dari hasil kebun ini.
“Inilah bentuk kesejahteraan kolektif dalam adat. Kalau satu susah, yang lain menolong. Kalau satu senang, semua merasa senang,” ujar Bundo Tristina didampingi bundo Hj Rostian dan Deswita yang berjuluk bundo tuo dari kaum suku piliang yang aktif dalam kegiatan ini.
Menjaga Warisan Dari Gerusan Zaman
Di tengah derasnya arus modernisasi dan individualisme, tradisi goro dan pengelolaan tanah kaum mulai tergerus di beberapa tempat. Namun, suku piliang di Nagari Sungai Rumbai Timur dan Sungai Rumbai, Kecamatan Sungai Rumbai, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumbar tidaklah demikian. Ini, buktikan bahwa adat itu bisa tetap tegak berdampingan dengan zaman, selama masih ada kemauan untuk menjaganya.
Kegiatan goro hari itu selesai menjelang sore. Makanan disantap bersama, tawa dan cerita mengalir di bawah rindangnya pohon sawit. Bagi mereka, hari itu bukan hanya tentang panen, tapi juga tentang mempertahankan jati diri dalam kaum.
Di kebun sawit yang dikelilingi batang-batang yang tegak dan kokoh, semangat suku Piliang pun tetap berdiri tegak – tak lekang di panas dan tak lapuk di hujan dan tak termakan oleh waktu dan tak goyah dimakan zaman begitulah yang terjadi sekarang dan dimasa yang akan datang.
Discussion about this post