Revitalisasi Sekolah Rp 28 Miliar, antara Janji Masa Depan dan Ruang Belajar Darurat

Oleh Syafri piliang
Wartawan Muda

Dharmasraya – Hantaman palu diringi mesin bor terdengar saling bersahutan dengan tawa anak-anak. Namun, tawa itu terdengar di mushalla kecil, bahkan sampai ke rumah warga. Bukan di ruang kelas mereka sendiri. Di balik jargon “revitalisasi pendidikan” senilai Rp 28,08 miliar, anak-anak Dharmasraya kini justru belajar di ruang-ruang darurat menjelang gedung sekolah mereka selesai.

Tahun 2025, Pemkab
Dharmasraya menerima bantuan dana dari pusat melalui Kemendikbudristek. Dana yersebut mengucur deras ke ruang-ruang belajar, anggaran jumbo untuk merevitalisasi 23 sekolah. Dari jumlah itu, 18 sekolah sudah mulai membongkar ruang kelas lama, dengan pagu mencapai Rp 25,08 miliar. Dari jumlah itu lima SMP lainnya masih menunggu perjanjian kerja sama, tambahan Rp 3 miliar.

Di atas kertas, angka itu tampak mewah.Tapi di lapangan, 8 persen progres pekerjaan berarti dinding yang roboh, genteng yang tercerabut, dan papan tulis yang kini tergeletak di gudang.

Bupati Dharmasraya, Annisa Suci Ramadhani, turun langsung ke SMPN 1 Pulau Punjung persis dijorong Labuah luruih, Nagari Sungai Kambut dan selatanya SDN 05 Koto Salak, Kecamatan Koto Salak. Dengan penuh keyakinan, ia menegaskan bahwa revitalisasi bukan hanya sekadar proyek fisik saja, melainkan investasi masa depan bagi anak – anak negeri ini.

“Sekolah harus menjadi tempat yang aman, nyaman, dan mendukung proses pembelajaran modern,” ujar Sang Srikandi itu dengan mantap.

Kata-kata itu indah, tapi realita tak sepuitis itu. Anak-anak tetap harus menenteng buku ke balai nagari, atau bergantian shift belajar karena kelas mereka kini tinggal puing. Guru-guru pun dituntut beradaptasi, mengajar di ruang seadanya, sembari memastikan murid tidak kehilangan semangat belajar.

Anggaran revitalisasi yang digelontorkan terbilang fantastis. Namun, transparansi soal kualitas pekerjaan, kecepatan progres, hingga mekanisme pengawasan, masih jadi tanda tanya besar. Rata-rata progres 8 persen di bulan September, dengan target rampung di akhir tahun, terasa seperti lomba lari yang baru melangkah dua kali namun sudah bermimpi finis.

Pemerintah daerah menjanjikan monitoring ketat. Tapi publik masih menunggu, apakah Rp 28 miliar benar-benar akan menjelma ruang kelas yang kokoh, atau sekadar bangunan yang cepat retak begitu nanti setelah serah terima selesai.

Di hadapan anak-anak, revitalisasi sekolah adalah harapan. Tapi di hadapan pejabat, proyek ini bisa saja menjadi komoditas politik. Kata “investasi” mudah terucap, tapi pengelolaan anggaran publik tak cukup hanya dengan retorika.

Sebab, pendidikan bukan hanya soal membangun gedung baru yang megah, akan tetapi untuk memastikan anak-anak bisa belajar dengan martabat, tanpa harus berpindah dari mushalla ke rumah warga demi untuk mengejar ilmu.

“Revitalisasi ini adalah tekad kita bersama,” kata Bupati Annisa. Sebuah tekad yang seharusnya berarti kerja nyata dan bukan sekadar janji manis di balik papan proyek yang bernilai miliaran.***