Hoyak Piaman nyaris tak terdengar. Menyonsong Pilkada Kota Pariaman periode 2018-2023, tensi politik relatif tertahan (samar). Konon banyak yang bilang, menghadapi konstelasi pesta demokrasi skala lima tahunan kali ini (Pilkada serentak), peta perpolitikan di Kota Pariaman mengalami stagnasi
PARIAMAN, REPORTASEINVESTIGASI.com
Jika tak salah hitungan bulan, euforia Pilkada Kota Pariaman sekarang tidak seperti kemasan sebelumnya, yang biasanya per hari ini sudah mulai ramai. Karena tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Pariaman sejatinya dilaksanakan tanggal 27 Juni 2018 mendatang.
Bak menunggu “aba-aba pluit”. Ada juga pendapat menafsirkan konstelasi politik jelang Pilkada serentak di Kota Pariaman kali ini diidentikan dengan aura “perang dingin”. Terlepas dari salah dan janggalnya, penulis wallahu a’lam...!!
Wajar! Animo konstituen kini tidak begitu nampak, pun dengan debat antar partisan/partisipan dan kader partai pengusung calon/bacalon yang sekiranya sekarang sudah mulai berdentang-dentang, kini jarang ditemukan di warung palanta politik Piaman.
Meski sesekali offside, adu argument serta gagasan tim-tim pemenang yang saling beradu pandang itu, tak lain dan tak bukan merupakan bumbu penyedap, yang menandakan adanya rivalitas Pilkada “pahunyi kampuang” tengah menggarang.
Cukup menarik untuk disimak. Membaca peta politik yang cenderung stagnan saat ini, seakan-akan mengikuti alur polarisasi yang masih menjadi teka-teki. Tak begitu banyak data dan informasi yang penulis dapatkan mengenai kekuatan para kompetitor yang mengikuti belantika Pilkada Kota Pariaman sekarang.
Walaupun begitu, di antara sejibun nama kandidat yang masih saja sibuk menyatakan kesiapannya memimpin Kota Pariaman. Akan tetapi, sudah ada dua kubu yang santer digadang-gadangkan berhasil mengantongi tiket untuk berkompetisi. Tak lain, dua kubu tersebut merupakan pasangan primadona, dua kubu yang berhasil membetot perhatian publik, dua pasang calon “legendaris” yang dielu-elukan konstituennya memimpin Kota Pariaman.
Konon dua kubu tersebut adalah pasangan Mahyuddin-Ridwan (MR) dan pasangan Genius-Mardison (GM). Kalaupun iya, ada ulasan menawan yang patut diketahui di kedua kubu ini. Dimana interaksi perjalanan kedua rival ini menuju gerbang suksesi Pilkada saling kait mengait, melewati satu “garis merah” dengan ragam dinamika politik yang dilalui.
Ya, pragmatisme Pilkada serentak yang bakal berlangsung di Kota Pariaman kali ini seakan menisbikan polarisasi dari penguasa sebelumnya. Sulit dibantahkan, kenisbian jabatan Mukhlis Rahman sebagai walikota 2 periode pasca-otda, seolah-olah menjadi “garis merah” pemisah. Tak ada yang kebetulan. Karena menurut penulis, semua yang terjadi hingga saat ini telah ditentukan tanpa kecuali. Sesuai judul “Retorika BA 1 W 2018: Polaritas MR Vs Paradoksal GM”.
Polaritas MR, sesuai dengan namanya “MR” adalah inisial dari Mukhlis Rahman (walikota 2 periode). Keterkaitannya dengan Mahyuddin-Ridwan (MR) sangatlah membekas. Pencalonan Mahyuddin kali ini terkait dengan nama Mukhlis, sama-sama berinisial “MR”.
Pasalnya, sebelum Mukhlis Rahman menjabat walikota di periode pertama, Mahyuddin merupakan calon petahana yang menjadi rival terberat Mukhlis Rahman. Sebab sebagai Sekdako kala itu, tak sesiapa pun yang menyangka Mukhlis yang merupakan anak buah Mahyuddin berhasil merebut singgasana walikota dari petahana.
Dan alhasil sekarang, polaritas yang dulu tercipta antara Mukhlis dengan Mahyuddin, saat ini relatif berbalik arah mengononkan cerita untuk berkolaborasi. Pertanyaannya: Apakah (MR) Mahyuddin-Ridwan adalah titisan (MR) Mukhlis Rahman? Wallahu a’lam..
Analogi sebaliknya. Mengulik paradoksal GM. Seperti diketahui, Genius Umar (Wakil Walikota Pariaman) yang menyandang gelar calon walikota incumbent pada Pilkada serentak nanti, memutuskan untuk memilih Mardison Mahyuddin (Ketua DPRD Kota Pariaman) menjadi wakilnya. Padahal, keterkaitan antara Genius Umar dengan Mardison Mahyuddin merupakan rival terberat pada Pilkada 2013 lalu.
Kala itu masing-masing kubu Genius-Mardison (GM) sama-sama berada di posisi calon “wakil walikota primadona” yang berseberangan. Genius mendampingi Mukhlis (walikota petahana), sementara rivalnya Mardison mendampingi Helmi Darlis (wakil walikota petahana).
Tak sampai di situ. Analogi “GM” yang disematkan Genius-Mardison juga mengandung unsur paradoksal lainnya. Tadinya, ketika berpasangan dengan Mukhlis Rahman di Pilkada 2013, Mukhlis-Genius mengapungkan kubu mereka dengan inisial tim “MG”. Dan alhasil, kubu ini berhasil mempertahankan suksesi walikota/wakil walikota.
Tentunya analogi “GM” (Genius-Mardison) yang digunakan sekarang tak lain merupakan wujud paradoksal yang bertentangan dengan inisial “MG” yang menobatkan mereka sebagai pemenang, bukan? Konon mengikuti isu yang berkembang, analisa ini diklaim sebagai gambaran realitas atas “kerenggangan” hubungan Mukhlis dengan Genius yang belakangan mulai merubah tensi politik Pilkada akibat perbedaan pandangan politik.
Sekali lagi. Pertanyaan yang sama: Apakah benar Genius-Mardison dengan simbolnya “GM”, adalah kontradiksi dari inisial “MG” (Mukhlis-Genius) yang saling bertolak belakang, padahal tadinya merupakan pemegang suksesi? Bisa saja! Mengingat tajamnya perbedaan pandangan politik yang terjadi, menyebabkan kerenggangan hubungan kedua pemimpin ini (Mukhlis-Genius) mulai tergembosi. Wallahu a’lam..
Bakal tetapi bagi penulis, siapapun yang bakal jadi walikota berikutnya, penulis haqul yakin, bahwasanya para kompetitor yang telah menyatakan dirinya ikut berkompetisi di ajang Pilkada 2018 sekarang ini, merupakan anak-anak nagari Piaman dengan segudang prestasi yang dia miliki. Tentu jua lah kehadirannya yang menginginkan membangun nagari, membawa visi misi yang tak jauh beda memakmurkan kesejahteraan rakyatnya. Harapan penulis, politik dalam Pilkada Kota Pariaman mampu menjadi barometer kontestasi politik Sumatera Barat.
Discussion about this post