Seyogianya bukan barang baru menyoal keraguan masyarakat Pariaman, menyikapi tentang integritas Kejaksaan Negeri Pariaman dalam hal penanganan perkara kasus tindak pidana korupsi. Bahkan dua tahun lalu, Kepala Kejaksaan Negeri Pariaman Yulitaria sempat dilaporkan oleh LSM Limbubu ke Kejagung dan DPR RI. Yang pasti, seabrek kasus yang tak kameh semasa kepemimpinan Josia Koni, memperburuk citra seloka “Satya Adi Wicaksana” yang memaknai kebesaran Trapsila Adhyaksa.
PARIAMAN, REPORTASEINVESTIGASI.com
Tidak menutup kemungkinan, kaji lama tersebut bakal terulang kembali. Sebab Rabu siang (25/10/17), beberapa jam menjelang acara pisah sambut antara Kajari baru dengan Kajari Josia Koni yang rencananya digelar malam ini pukul 19.30 Wib, sejumlah aktivis lintas organisasi (LSM dan media) menyambangi kantor kejaksaan.
Kedatangan mereka mendesak kejaksaan agar memberikan kejelasan hukum atas sejumlah tunggakan kasus-kasus yang lama maupun yang baru, ataupun kepastian hukum dari beberapa kasus yang sejatinya telah dijanjikan oleh Josia Koni kepada LSM, dituntaskan sebelum Josia Koni bakirok (pergi) dari Pariaman.
“Kita mendesak kejaksaan untuk menuntaskan kasus-kasus yang dulu pernah didalami pihak kejaksaan sampai ke tahap penyidikan. Dan kasus itu dijanjikan tuntas, namun kenyataan sampai sekarang kasus-kasus itu terindikasi dipetieskan. Untuk itu langkah ke depan, kepada Kajari yang baru menjabat kita akan lakukan audiensi secepatnya. Karena kami tak mau dibohongi lagi,” tegas Jhony Manday dari Laskar Harimau Sumatera yang didampingi Ali Nurdin dari LSM Gempur dan Azwar Anas LSM Laki.
Namun yang jelas, kedatangan sejumlah aktivis lintas organisasi tersebut ke kantor kejaksaan, diterima Kasi Intel Okta, di ruangannya. Perhatian media menilai, langkah yang dilakukan aktivis lintas organisasi pra-audiensi dengan Kajari yang baru, cukup menarik diperbicangkan. Pertanyaan-pertanyaan tajam yang menohok institusi kejaksaan membungkam jawaban Okta.
Bagaimana tidak. Kinerja kejaksaan selama kepemimpinan Josia Koni di Pariaman, tidak sedikitpun mampu menepis keraguan masyarakat selama ini. Nonsen! Begitulah anggapannya. Pasalnya, mereka menganggap lecut tangan Josia Koni yang katanya berhasil menciduk oknum terduga pelaku korupsi (ASM, mantan Kadis PU Padang Pariaman), di lima hari menjelang kepergiannya, bukanlah sebuah prestasi, melainkan pencitraan sebagai pengobat tanya LSM dan media selama ini.
“Di antara 2 oknum terduga korupsi yang diamankan kejaksaan, satu di antaranya merupakan kinerja dari kepolisian. Barang pasti itu, yang sudah masuk ke tahap penuntutan adalah kasus perkara KONI, hanya tinggal disidangkan. Dan usaha kepolisian menuju ke situ butuh kerja ekstra sampai 5 kali bolak balik P19, padahal dari kepolisian bahannya sudah P21, sewaktu diajukan ke kejaksaan tidak diterima P19, begitu seterusnya sampai lima kali. Jadi sehingganya jelang beberapa hari Josia Koni mau pindah, barulah P21. Hasil kerja keras Tipikor kepolisian. Sedangkan ASM, itu barang lama, dan tahapannya sekarang masih tingkat penyidikan, sebab hasil audit ASM dari BPKP baru saja keluar,” terang sumber aktual media ini yang tak ingin dibeberkan jati dirinya.
Ya, memang. Penangkapan yang dilakukan pihak kejaksaan terhadap ASM, tak lain merupakan sisa-sisa perkara lama yang dulu pernah menjerat Kadis PU Z dan O yang pada saat itu masih sebagai pejabat aktif di Kabupaten Padang Pariaman. Anehnya dalam perkara proyek DPID ini, ada pun kontraktor pelaksana kegiatan yang merugikan negara Rp1.9 miliar itu, Khossan Katsidi bersama Ramli, hingga sekarang masih berstatus DPO.
Aktivis lintas organisasi ini menyimpulkan ketidak normalan penanganan kasus perkara korupsi di Kejaksaan Negeri Pariaman, semakin membingungkan. Wajar persepsi tersebut tercetus, mengingat penanganan perkara korupsi yang melibatkan ASM untuk saat ini berstatus tahanan kejaksaan, berlangsung terpisah.
Padahal keterkaitan Z, O dan ASM masih dalam lingkup objek perkara yang sama. Belum lagi menyoal keteledoran kejaksaan pada tingkat Pengadilan Negeri Tipikor yang memutuskan Khossan Katsidi bersama Ramli dinyatakan bebas dari segala tuntutan jaksa. Hingga pada akhirnya kasasi yang diajukan Kejaksaan Negeri Pariaman ke Mahkamah Agung inkrah tanggal 16 Agustus 2017.
Hal itu dibantah oleh Okta, karena menurutnya penanganan perkara kasus tersebut digelar terpisah mengingat bukti yang menjerat ASM baru terpenuhi. “ASM baru diciduk, ya karena penanganan kasus baru cukup bukti. Bukan karena Kajari mau pindah.” Jawabnya tanpa memberikan keterangan yang logis.
Sedangkan Khossan Katsidi dan Ramli, lanjut Okta, “Memang ada kesalahan waktu itu masa Kajari Yulitaria, tapi sekarang setelah kasasi diterima MA, Ramli baru dinyatakan bersalah dengan ancaman 6 tahun penjara denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan, pidana tambahan membayar uang pengganti Rp2.575.248.005 yang dikompensasikan dengan uang yang telah disita Rp1.9 miliar, dan surat pencekalan dari MA telah dikeluarkan. Sedangkan untuk Khossan divonis 7 tahun penjara, denda sama Rp200 juta subsider 6 bulan, status pencekalannya dari MA masih kita tunggu,” bebernya.
Tak puas sampai di situ. Sejumlah aktivis lintas organisasi ini pun mempertanyakan fungsi TP4D yang diduga cenderung melabrak aturannya sendiri. Sebab, Tim TP4D dari Kejaksaan Negeri Pariaman yang sejatinya terbentuk sejak 2016 lalu, dinyatakan mandul. Mengingat tupoksi dari TP4 berdasarkan Peraturan Jaksa Agung RI No Per-014/A/JA/11/2016 tidak berpengaruh mengungkap isu kerugian negara akibat permainan pelaksanaan proyek pembangunan oleh oknum-oknum di daerah Padang Pariaman dan Kota Pariaman.
Padahal jelas Tim Pengawal dan Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan Kejaksaan RI yang selanjutnya disingkat TP4 adalah tim yang melakukan tugas sesuai dengan namanya. Salah satu ruang lingkup TP4D Kejaksaan Negeri Pariaman adalah melakukan pengawalan pengamanan terhadap pekerjaan pembangunan yang akan dan atau sedang dikerjakan oleh pemerintah daerah. Namun sangat disayangkan kinerja TP4D yang dimulai bertepatan dengan kepemimpinan Josia Koni di Kejaksaan Negeri Pariaman, memperburuk citra Adhyaksa di mata masyarakat Piaman Laweh.
Dalam kesempatan itu, sekelompok aktivis lintas organisasi ini juga menyentil beberapa perkara yang dijanjikan baik semasa Yulitaria maupun Josia Koni. Mereka menanyakan kasus dana PKK Kabupaten Padang Pariaman yang ketika itu tahun 2013 menjerat Rena Ali Mukhni. “Kami juga ingin menanyakan keberadaan kasus dana PKK yang jelas ketika itu melibatkan istri Bupati Padang Pariaman Rena Ali Mukhni, yang ketika itu di hadapan masyarakat yang menuntut perkara ini diproses, Yulitaria pernah berjanji akan menyelesaikan kasus ini hingga tuntas. Dia meyakinkan kami bahwasanya penegakan hukum tidak pandang bulu. Tapi apa nyata sampai sekarang? Nonsen! Dan sekarang kami menuntut penanganan kasus dana PKK harus tuntas,” sebut Jhony Manday kepada Okta tanpa tawar. “Tangkap!” seru rekan aktivis lainnya menyemangati.
Begitupun dengan Azwar Anas LSM Laki, belum lama ini dia dipanggil Josia Koni menghadapnya memberikan kepastian jika 2 kasus yang telah dilaporkannya akan segera dituntaskan sebelum kepindahannya.
“Josia Koni itu memanggil saya, karena dia mendengar ada yang ribut-ribut mempersoalkan kasus yang saya laporkan. Lantas dia telpon saya, di situlah dia berjanji akan segera menindaklanjuti amar putusan kasus makan minum fiktif anggota DPRD Padang Pariaman tahun anggaran 2012 serta kasus perjalanan fiktif anggota DPRD yang sampai saat ini belum ada tindakan, padahal itu dulu sudah tahap penyidikan, dia berjanji akan segera menyelesaikannya.” Sebut Anas jengkel.
Dan katanya pun, masih pernyataan Anas, “Kepada saya meyakinkan bahwa tim kejaksaan tetap bekerja mengebut kasus ini hingga dituntaskan menunggu hasil audit BPKP. Karena berkas yang lama itu hilang, itu alasannya sama saya. Tapi, sampai sekarang janjinya palsu. Alasannya pun tergolong klasik, berkas hilang, dan menunggu audit BPKP, sekarang pun masih belum keluar audit itu. Kan ngak lucu itu.” Ujar Anas mencemooh kinerja kejaksaan Pariaman di bawah kepemimpinan Josia Koni. IDM
Discussion about this post