PADANG PARIAMAN – Syamsiar, ibu 3 orang anak ini mengaku tak ada pilihan untuk tidak tinggal di gubuk lapuk ukuran 3 x 3 m², pasca gempa dahsyat 2009 menghantam Sumatera Barat. Kehidupan Syamsiar dengan suaminya Darmawi dan 3 orang anaknya serta Jamiri (65) sangat terisolasi.
Bisa dibayangkan kondisi gubuk yang ditempati Syamsiar bersama keluarganya itu. Lantainya beralaskan tanah, hanya saja sedikit ditutupi dengan terpal usang yang sudah tak laku. Tidak ada kasur di kamar, serta kondisi dapur ala kadarnya pula. Tak ada listrik dan MCK yang layak. Untuk mandi dan mencuci, keluarga Syamsiar memanfaatkan air pancuran yang dibuat sendiri di ruang terbuka.
Kampung Durian Hijau, Korong Toboh Marunggai, Nagari Sikucua Barat. Lokasi tempat Syamsiar tinggal tidak begitu jauh dengan kampung Ali Mukhni kecil yang kelak dibesarkan menjadi Bupati Padang Pariaman sekarang, setidaknya masih satu kecamatan, yakni Kecamatan V Koto Kampung Dalam.
Di sanalah rumah gubuk super sempit yang dihuni Syamsiar, suaminya Darmawi, 3 orang anaknya, serta Jamiri ibu kandung Syamsiar (65) itu tinggal. Kadang kala, jikalau malam hujan mengguyur, air merembes masuk melalui celah dinding yang terbuat dari papan rapuh, dan lantai yang dialas dengan terpal usang itu, membuat mereka kedinginan karena embun hujan semalaman.
Mirisnya lagi, anak-anak dari Syamsiar yang saat ini masih bersekolah itu, mengharuskan tiap harinya berjalan kaki hingga 5 kilometer untuk sampai ke sekolah. Maklum, anak Syamsiar yang pertama Karnila bersekolah di SMP 3 Marunggai, kelas VIII. Sedangkan anak yang kedua Agita duduk di kelas IV, SD 21 Marunggai. Padahal anak-anak tersebut tergolong berprestasi di sekolahnya. Seperti Karnila mendapat juara kelas rangking 2 di sekolahnya.
“Yang mengkhawatirkan itu, anak-anak pergi ke sekolah harus pagi pagi sekali agar tidak terlambat datang ke sekolah karena jaraknya yang jauh. Namun seringkali anak-anak dikejutkan dengan kehadiran babi hutan di jalan sehingga anak-anak pernah jatuh ke lurah,” tukuk Syamsiar dan suami.
Untuk mencapai rumah keluarga Syamsiar, dari ruas jalan utama, kita diharuskan berjalan kaki sepanjang 1 kilometer dengan medan jalan setapak yang terjal. Beruntung dari 1 kilometer jalan setapak itu, 500 meternya sudah bisa dilalui dengan mengendarai kendaraan roda dua. Jalan rabat semen yang dibuat hasil swadaya masyarakat setempat. Sedangkan 500 meter sisanya diapit oleh jurang dan tebing, dipenuhi semak dan binatang pacet. Begitu terpencil dan jauh dari komunitasnya.
Cerita kemiskinan keluarga Syamsiar ini viral karena tersiar di media sosial Facebook. Cerita ini didapat berkat program Jumat Barokah yang dibuat oleh Polsek Kampung Dalam. Program Jumat Barokah ini adalah program pemberian bantuan sembako yang diberikan kepada keluarga yang nasibnya memprihatinkan, sembari melakukan survei penduduk miskin oleh anggota Polsek.
Melalui keterangan Bhabinkamtibmas, Ardiansyah Rahman. Dia mengatakan, awalnya, Polsek Kampung Dalam berinisiatif melakukan survei terhadap berapa banyak keluarga atau masyarakat yang berada dalam golongan tidak mampu dengan melibatkan Bhabinkamtibmas dan anggota Polsek lainnya.
“Jadi awalnya itu ialah inisiatif dari Polsek Kampung Dalam dengan membuat program Jumat Barokah sembari menyurvei keluarga tidak mampu. Program ini pemberian bantuan sembako dengan total nilai Rp400 ribu diberikan kepada keluarga yang betul betul hidup dalam taraf kemiskinan. Makanya kita survei dulu. Untuk biaya bantuan ini hasil sumbangan dari anggota Polsek,” papar Ardiansyah pada media Kamis (14/11/19).
Discussion about this post