Payakumbuh — Tercuat isu Ponpes Al-Furqon mendiskreditkan salah seorang santrinya, dengan cerita pelecehan seksual sesama jenis.
Santri yang berinisial F, telah mondok hampir lebih kurang 3 tahun di ponpes yang beralamat di Koto Baru Simalanggang.
Santri F dituduh melakukan pelecehan seksual (sesama jenis) kepada santri lain oleh oknum pengurus sekolah.
Orang tua santri F lalu diminta datang ke sekolah untuk tanda tangan surat pernyataan di mana santri F dituduhkan telah melakukan pelecehan itu sejak kelas 8.
Dan santri F diminta menandatangani surat perjanjian yang mengakui melakukan semua tuduhan di surat pernyataan itu, namun orang tua dilarang memperlihatkan kepada F, point-point tuduhan dalam surat pernyataan.
Jika orang tua F mau menandatangani surat pernyataan itu, maka F bisa mondok kembali. Dan kasus ini tidak akan disampaikan pada orang tua korban.
Orang tua F tidak menerima tuduhan tersebut. Apalagi setelah ditanya kepada anaknya, F membantah bahwa tidak benar tuduhan yang dinyatakan itu, yang benar mereka hanya dalam konteks bercanda, saling colek-colek lalu mengenai alat vital. Apalagi sejak kelas 7, adab F selalu A+ di raportnya.
Hal lain yang dianggap aneh oleh orang tua, jika memang anaknya melakukan pelecehan, dan ada korban di asrama, menurut wali F, kenapa dengan menandatangani surat perjanjian dimana F mengakui semua tuduhan, anak bisa masuk asrama lagi, bagaimana nasib korban?
Orang tua akhirnya mengkonfirmasi tuduhan adanya kecendrungan sex menyimpang dengan membawa anak ke Psikolog Halvizh, dan hasilnya tidak ditemukan adanya indikasi Penyimpangan seksual pada F. Dalam artian F ini normal.
Pihak sekolah kemudian meminta orang tua untuk memasukkan lagi F ke pondok sebagai syarat untuk ujian akhir.
Orang tua F menolak anaknya tinggal di asrama dan meminta agar F bisa full day saja mengingat kondisi psikologis F yang sudah tertekan akibat tuduhan itu, namun pihak sekolah menolak. Tetap memaksa F untuk kembali ke asrama.
Karna tidak ada kesepakatan itu, F tidak datang ke sekolah. Dan pada tanggal 13 Februari, F dikeluarkan secara sepihak dari data dapodik oleh sekolah. Dan terancam tidak bisa mengikuti ujian akhir.
Hal ini sudah dilaporkan orang tua ke Dinas Pendidikan dan Ombudsman, namun sampai hari H ujian tanggal 3 Mei 2023, tetap tidak ada kejelasan apakah F bisa ujian atau tidak, karna sekolah terus mempersulit dengan alasan yang dibuat-buat.
Bahkan tanggal 15 Mei, F sudah datang ke sekolah untuk ujian susulan, atas rekomendasi Ombudsman, tapi tetap ditolak dengan alasan sekolah tidak menerima pemberitahuan sehari sebelumnya. Padahal menurut pihak Ombudsman, mereka sudah memberi tahu sekolah tanggal 14 Mei.
Melihat tidak ada iktikad baik dari pihak sekolah, orang tua kembali mendatangi kantor Dinas Pendidikan 50 Kota, dan meminta anak mereka untuk ujian di kantor dinas pendidikan. Setelah berkali-kali dipersulit untuk ujian, akhirnya F bisa mengikuti ujian susulan yang baru dimulai Rabu (17-05-2023).
Namun ketidakpuasan orang tua dari F tentang nama baik dan diskriminasi anaknya, orang tua bertekad akan melaporkan hal ini ke ranah hukum.
“Kami orang tua dari F akan melanjutkan perkara ini ke ranah hukum (pihak kepolisian, red) karena diskriminasi terhadap anak kami sudah sangat keterlaluan, bahkan sampai anak kami mengalami trauma yang cukup berat,” jelas Y. (bbz)
Discussion about this post