Ada asumsi dan perkataan di tengah masyarakat bahwa politik itu kotor. Sehingga mereka alergi dengan politik maupun politisi. Yang terbayang oleh mereka; politik itu identik dengan kecurangan, kelicikan, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai berkuasa dan membentuk sarang koruptor.
Mereka hanya datang ke masyarakat saat butuh suara ketika Pileg atau Pilkada, setelah itu program yang dijanjikan tak lain sekedar kamuflase saja, kemudian diingkari. Memang banyak yang demikian, banyak politisi salah jalan dan bertindak korup. Menghalalkan segala cara untuk tujuan politiknya, curang dan licik untuk menang. Misalkan ketika Pileg, Pilpres atau Pilkada, dalam aturan demokrasinya tidak boleh menggunakan politik sogok atau politik uang ataupun berkedok bansos dam sebagainya, tapi faktanya masih marak melakukan hal yang demikian.
Akibat lain dari asumsi itu banyak masyarakat yang tidak percaya pada janji para politisi. Sehingga ketika musim politik atau kampanye Pileg atau Pilkada, sebelum kita dicurangi oleh para politisi yang sering ingkar janji, maka lebih baik kita curangi mereka dulu katanya. Banyak kejadian politisi yang baru muncul, sering dikerjai oleh para pemain politik di lapangan, mereka mengaku tokoh masyarakat, mengklaim bisa mencarikan suara sampai sekian ribu orang untuk politisi itu, “Saya akan sepenuhnya mendukung bapak. Maka dibutuhkan sekian jumlah uang untuk mencari suara itu,” katanya.
Bagi yang terlanjur dan terbuai maka diberikanlah sejumlah uang, tapi faktanya selesai Pileg atau Pilkada hasilnya tidak sesuai yang diinginkan. Terjadilah yang namanya siklus tipu daya politik.
Tapi benarkah politik itu dan semua politisi itu kotor? Menurut penulis tidak, itu hanya berlaku dan terjadi pada orang-orang yang hati dan pikirannya kotor. Karena pikiran dan hati adalah pemicu perbuatan. Bagi orang yang hati dan pikirannya bersih, sedangkan tujuan dan motif berpolitiknya menjadikan kekuasaan sebagai ladang ibadah, kebaikan dan perbaikan. Maka Politik itu akan menjadi bersih, bahkan akan bisa membersihkan kotoran dan keburukan yang ada di masyarakat maupun pemerintahan. Bisa menjadi sarana untuk membantu orang yang membutuhkan, menegakkan keadilan, dan menjadi pahala dunia akhirat. Seperti contohnya Rasulullah SAW dan para sahabat yang menjadikan kekuasaan sebagai sarana menegakkan kebenaran, keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Banyak contoh di negara kita para politisi dan negarawan sejati seperti para pendiri bangsa, sebagai contoh di Ranah Minang ada Bung Hatta yang bahkan sampai di akhir hayatnya tidak mampu membeli sepatu yang diinginkannya. Padahal beliau adalah Wakil Presiden Republik Indonesia, Bapak Proklamator RI. Banyak sekali jasanya untuk bangsa ini. Perjuangannya juga penuh resiko dan bersabung nyawa untuk Indonesia merdeka.
Pernah dalam sebuah kisah ketika beliau coba disogok oleh Belanda agar mau menjadi pegawai Belanda dan diberikan sejumlah gaji bulanan, saat beliau ditahan di Boven Digoel, Papua. Walaupun butuh tapi beliau memilih untuk tidak mau beranjak dari prinsipnya bahwa beliau berjuang untuk kemerdekaan rakyat Indonesia dari penjajahan, bukan untuk menjadi kaki tangan penjajah. Itu salah satu contoh politik yang bersih dijalankan oleh orang-orang yang berpikiran dan berhati bersih. Masih banyak yang lainnya termasuk sampai hari ini insya Allah.
Maka ibarat sebuah pedang/pisau, kalau dia dipegang oleh orang baik dan bertujuan baik, bisa digunakan untuk menebas rumput liar yang mengotori pekarangan rumah atau ladang, bisa juga digunakan utk menyembelih hewan Qurban, dan lain sebagainya.
Tetapi jika pedang tadi di tangan orang gila atau orang yang bertujuan jahat seperti maling/perampok, maka dia akan gunakan untuk mengancam atau melukai orang lain, menjarah harta orang lain bahkan untuk menghilangkan nyawa orang lain. Na’udzubillah mind zalik.
Jadi bukanlah politiknya yang kotor karena ilmu politik itu sendiri adalah ilmu yang dipelajari di perguruan-perguruan tinggi, kalau dia buruk kenapa dijadikan disiplin ilmu. Menurut penulis, ilmu politik itu sederhananya adalah ilmu untuk memimpin dan berkuasa dengan cara yang benar dan beretika.
Jadi yang kotor itu sebenarnya siapa? Politiknya atau orangnya? Jawabannya adalah orangnya. Maka kalau kita ingin membenahi dan memperbaiki bangsa ini maka lakukanlah penyiapan para politisi dan calon calon pemimpin yang memiliki integritas, kapasitas, akuntabilitas dan kapabilitas untuk memimpin, yang memiliki kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, mental dan fisikal yang Baik, bukan hanya mengutamakan pemimpin yang memiliki isi tas atau popularitas saja.
Banyak orang yang populer tapi apakah bisa memenuhi kriteria yang lain. Kemudian kalau hanya isi tas yang diutamakan maka akan lahir lah politik jual beli suara atau politik seperti berdagang sapi, bukan politik gagasan atau politik perbuatan.
Tapi itulah fakta demokrasi Indonesia hari ini. High cost democracy, demokrasi berbiaya tinggi, sehingga muncul lah tangan-tangan oligarki di belakang layar. Demokrasi juga berjalan tidak normal dan tidak sehat di tengah kondisi rakyat kita banyak yang berpendidikan masih rendah dan kesejahteraan yang rendah juga.
Berdasarkan data Direktorat Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, tahun 2021 jumlah penduduk derdasarkan jenjang pendidikannya, sebanyak 59,19 ribu jiwa atau hanya 0,02% penduduk Indonesia yang berpendidikan hingga jenjang S3. Kemudian, sebanyak 822,47 ribu jiwa atau 0,03% penduduk yang berpendidikan hingga S2. Lalu, penduduk yang berpendidikan hingga S1 sebanyak 11,58 juta (4,25%). Penduduk yang menempuh pendidikan jenjang D3 sebanyak 3,46 juta jiwa (1,27%), yang berpendidikan D1 dan D2 mencapai 1,15 juta jiwa (0,42%). Total, sebanyak 17,08 juta jiwa (16,7%) penduduk Indonesia yang berpendidikan hingga ke Perguruan Tinggi.
Sedangkan penduduk yang berpendidikan hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) 56,15 juta jiwa (20,63%) dan yang berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebanya 39,67 juta jiwa (14,57%). Kemudian yang tamat Sekolah Dasar (SD) sebanyak 64,84 juta jiwa (23,82%). Sebanyak 31 juta jiwa (11,39%) penduduk yang belum tamat SD, serta 63,49 juta jiwa (23,32%) yang tdak/belum sekolah.
Dari data ini kita lihat sebesar 83.3 % penduduk Indonesia berpendidikan menengah bawah bahkan tidak sekolah. Jika digabungkan yg berpendidikan sampai SLTA dan Perguruan Tinggi juga masih minoritas yaitu baru 37.33 %. Tingkat pendidikan jelas berpengaruh terhadap pola pikir dan juga tingkat kesejahteraan. Sehingga rawan untuk dimanipulasi dan dimanfaatkan sekedar untuk kepentingan elektoral sesaat, padahal efeknya sangat buruk kedepannya bagi sehatnya bangsa Indonesia. Wallahu alam bisshawab.
Discussion about this post