Tanah Datar — Kaum di Minangkabau adalah nama dari suatu kelompok orang yang hanya berasal dari satu ibu. Setiap kaum memiliki pimpinan diantaranya pemimpinnya, ada yang sudah menjadi panghulu adat dan jika sudah jadi panghulu bukan sembarang orang lagi di Minangkabau.
Hal itu disampaikan StS. Dt. Rajo Indo selaku pewaris katitiran di ujung “Tanduak Nan mancotok di tapak tangan dan manyosok di ujuang kuku” di alam Minangkabau saat menjawab pernyataan awak media, Selasa (11/07/2023) di Batusangkar.
Menurut St. S. Dt Rajo Indo lebih akrab di sapa St Syahril Amga mengatakan kelompok kecil yang bernama kaum jika sudah di pimpin oleh seorang panghulu adat itu menunjukan orang bangsawan di Minangkabau, untuk menjadi panghulu adat tidak semuda membalikan telapak tangan karena harus memenuhi syarat tertentu.
“Pimpinan dalam kaum yang disebut panghulu adat sehari harinya dipanggil datuak. Syarat fundamental menjadi datuak itu punya rumah adat dan memiliki Ranji Nan Tigo, yaitu Ranji diatas kertas, Ranji di tiang pintu dan Ranji di tanah Kore (keras-red),” jelasnya.
Lebih lanjut menurut St Syahril Amga, Ranji boleh disebut singkatan dari rangkaian jiwa, artinya satu jiwa orang yang se rajin itu. Rajin di atas kertas semua kita tau. Ranji di tiang pintu itulah panghulu adat yang bisa menjawab pertanyaan anak kamanakan secara spontan dan bisa berjalan ke sana-sini. Sementara Ranji di tanah Koreh itulah yang oleh kebanyakan orang disebut “pondam pakuburan”.
Setiap Ranji itu berisi, namun ketika memasukan isi Ranji ke tanah Koreh itu selalu disaksikan oleh orang banyak dalam nagari. Karena itu isinya tidak bisa ditukar-tukarkan oleh karena Ranji tanah Koreh itu lah yang tiada membuat dusta diantara kita.
“Jika syaratnya dasar lengkap dengan elemen lainnya lahir lah apa yang dikatakan hukum adat “Berdiri Panghulu Sepakat Kaum”. Bila seluruh anggota kaum sudah sepakat tidak ada hak orang lain untuk melarang pengukuhan gelar panghulu adat kaum itu. Akan tetapi ada satu orang saja diantara anggota kaum yang tidak setuju itu disebut masih ada “Lantai Nan manjongkek”, artinya “Bulek belum bisa digolekan untuk membangkik batang tarandam itu,” tuturnya.
Namun kata Syahril Amga, dalam pengangkatan panghulu adat itu ada yang dinamai dengan sebutan “Bungo Bakarang” Maksudnya suatu kelompok orang dari satu keturunan ibu yang belum ada panghulu adatnya terbuka pintu selebar lebarnya untuk menjadi datuak. Akan tetapi harus memenuhi syarat bagi gelar yang dikarang itu terlebih dahulu.
“Syaratnya 1. Harus memiliki rumah adat Nan bagonjong, 2. Menunjukan tanah untuk dijadikan “pondam perkuburan”, 3. Maisi adat ke nagari sesuai dengan adat salingkah nagari. Adat salingkah nagari itu berbagai corak ragamnya, diantaranya ada memberikan sepasang baju untuk datuak datuak yang sudah ada dalam nagari, ” ujarnya.
Lebih lanjut St Syahril Amga mengatakan, Panghulu tidak sama dengan Penghulu. Sebabnya Panghulu berasal dari kata Pangka dan Hulu. Sementara itu Penghulu adalah suatu jabatan di dalam islam diantara tugasnya menuntun pasangan yang akad nikah. Sementara Panghulu ada tugas memimpin kaum, menjernihkan yang keruh, menyelesaikan yang kusut dan memiliki perangkat, punya dubalang bagi kelasaran Koto Piliang dan hubalang sebutan dalam kelarasan Bodi Caniago, ada alimya yang semenjak islam membumi di Minangkabau disebut makin dan khatib serta bilalnya.
Sementara itu untuk menjadi penghulu syaratnya ditentukan oleh suatu aturan dalam pemerintahan. Bahkan untuk menjadi panghulu dewasa harus seorang yang berlatar belakang pendidikan sarjana agama bahkan orang nya wajib yang berumur muda. Sementara itu untuk menjadi panghulu diprioritaskan orang yang sudah matang wawasannya terutama dalam bidang adat dan istiadat.
Menurut Pak Datuak yang juga merupakan tokoh Pers Nasional yang kediamannnya di lereng merapi tersebut mengungkapkan, untuk menjadi panghulu adat mengutamakan orang yang tau, memahami, menghayati, adat minangkabau. Disamping itu harus pandai membaca tanda tanda zaman sebagaimana pepatah undang undang 20 “Curi maliang taluang, dinding tikam bunuah padang badarah – ibo dianak kamankan katagiliang turuikan putaran roda” namun tidak boleh keluar dari bingkai adat basandi syarak, syarak basandi khitabullah.
Oleh karena itu sampai pak datuak untuk menyandang gelar panghulu adat orangnya harus punya kearifan serta bijak hal itu yang melahirkan sebutan kata panghulu “menyelesai” artinya tidak ada kusut yang tidak terselesaikan dan tidak ada keruh tidak bisah di jernihkan oleh panghulu adat di Minangkabau.
Kata Syahril Amga Panghulu disebut juga orang kaya, namun bukan hanya kaya materi melainkan juga kaya akan ilmu pengetahuan, karena dalam hidup ini pengetahuan adalah modal yang kekal dan menelurkan uang.
Lebih lanjut ditegaskannya, beda pandam pakuburan dengan lahan tanah perkuburan di Minangkabau. Bila belum ada terkubur panghulu adat pada tanah itu maka belum dinamai pandam kuburan kecuali dengan sebutan tanah tempat berkubur keluarga si A atau tanah kuburan keluarga si B. Jelas fungsionaris adat tersebut. Jika rumah adatnya sudah habis ditelan zaman, tapi tempat bekas berdirinya runah adat masih ada berarti itu telah menunjukan kaum itu memiliki Sondi kerajaan artinya sudah ada panghulu pada tempo dulu.
“Hal itu menunjukan sudah ada jalan tarantang Nan kadi turuik yang didalam adat tersebut “alah ado suro tagantuang Nan ka diulewesi” oleh kaum tersebut. Untuk itu tidak ada alasan lagi bagi orang lain untuk melarang kaum nan alah bajajak bak bakiak itu untuk menuruti jalan tersebut. Apalagi pasal 27 ayat (1) yang konstitusi telah menegaskan “Segala warga negara sama kedudukannya dimata hukum dan pemerintahan dan tidak ada kecuali nya,” tukas St. S Dt Rajo Indo. (Rel)
Discussion about this post