PAINAN – Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan tidak memiliki power atau kekuatan penuh untuk dapat menetapkan harga Tandan Buah Segar (TBS) yang kini menjadi keluhan bagi masyarakat pekebun sawit swadaya.
Meski begitu, pemerintah daerah mendorong agar harga kelapa sawit tersebut dapat dibeli dengan harga yang wajar oleh pihak perusahaan.
Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Pesisir Selatan, Madrianto mengatakan tekanan harga sawit tersebut pada umumnya dialami oleh pekebun swadaya.
Hal ini dikerenakan para petani belum bermitra dengan pihak pabrik pengolahan kelapa sawit. Sehingga, cendrung dalam proses penetapan harga dilakukan secara sepihak oleh pihak perusahaan pabrik pengolah kelapa sawit.
“Sebenarnya dalam hal kewenangan pemerintah daerah dalam hal penetapan harga sawit, itu berada dalam kewenangan pemerintah provinsi yaitu Gubernur, sesuai dengan Permentan Nomor 1 tahun 2018. Pak gubernur juga telah menurunkan Pergub Nomor 28 tahun 2020 terkait penetapan harga sawit pemerintah,” katanya, Selasa (4/10) di Painan.
“Nah, pemerintah dalam hal ini adalah sebagai user dari regulasi yang ditetapkan. Artinya pemerintah kabupaten tidak bisa melakukan intervensi langsung untuk menetapkan harga sawit swadaya, karena regulasi belum ada yang mengatur langsung,” katanya lagi.
Mardianto menyebutkan bahwa berdasarkan Pergub tersebut, pemerintah kabupaten sebenarnya dapat melakukan penetapan harga dengan ketentuan yaitu membuat kesepakatan bersama dari pihak pabrik perusahaan perkebunan pengolah kelapa sawit.
Justru itu, pemerintah daerah mendorong agar masyarakat atau pekebun sawit yang selama ini hanya secara swadaya dapat bermitra dengan pihak Perusahaan Kelapa Sawit (PKS) sehingga mereka dapat menikmati harga sesuai yang ditetapkan pemerintah.
Untuk bermitra itu, kata dia tentu ada kelompok masyarakat atau sebuah koperasi yang akan melegalkan kemitraan tersebut. Kemitraan itu tidak dapat dilakukan dengan personal atau perorangan.
Dari data yang disampaikan, luasan lahan perkebunan sawit di Kabupaten Pesisir Selatan mencapai 78 ribu hektare. Dari total luasan itu, 41 ribu hektar merupakan pekebun sawit sawdaya. Sementara, pekebun sawit yang sudah bermitra hanya sekitar 3 persen.
“Dan hari ini, yang mendapatkan tekanan itu adalah sawit-sawit yang berasal dari sawit swadaya. Terakhir saat harga sawit Rp2.200, itu harga sawit dari pekebun swadaya hanya Rp900. Jauh lebih murah,” tuturnya.
Mardianto menambahkan pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam terkait persoalan harga sawit yang tak berpihak kepada pekebun sawit swadaya.
“Tentu ini menjadi tanggung jawab dari seluruh elemen masyarakat yang ada, seluruh stakholder yang ada, bagaimana penetapan harga sawit ini dilakukan bersama-sama dengan pihak perkebunan pabrik pengolahan kelapa sawit, sehingga masyarakat pekebun swadaya ini dapat menerima harga yang layak,” ujarnya.
Pemerintah daerah mendorong bagaimana masyarakat pekebun sawit swadaya bergabung dalam suatu kelembagaan baik kelompok tani atau koperasi untuk menjalin kemitraan.
Untuk itu, Dinas Pertanian berharap agar bantuan dari seluruh tokoh masyarakat, pemerintah nagari dan kecamatan, supaya kelompok masyarakat tersebut diberikan pemahaman, sehingga berlembaga itu sangat penting dan kekuatan dari kelompok itu akan ada.
Menurut dia, sesuai regulasi, posisi tawar pemerintah daerah untuk menetapkan harga sawit tidak kuat cuma hanya dilibatkan dalam proses penetapan harga.
“ke depan kita harapkan bisa duduk bersama, setidaknya upaya nyata dari bupati bersama-sama dengan DPRD nanti akan mengundang seluruh pihak perusahaan perkebunan pabrik kelapa sawit, sehingga kita bisa menetapkan harga yang wajar untuk sawit swadaya. Selain itu, setidaknya ada turunan dari pemerintah provinsi agar pemkab punya kewenangan lebih,” tutupnya. (*)
Discussion about this post