Pihak sekolah MTsN 2 Pariaman mengancam untuk tidak membolehkan siswa-siswi mengikuti ujian jika uang komite yang “dipangua” itu belum dibayarkan. Bahkan ketika diwawancara media, kepala sekolah merasa risih dan menunjukkan ketidakprofesionalan serta ketidaksukaan. Hal ini diduga sebagai upaya dari jurus menghindar ala kepala sekolah agar modus operandi yang tengah dimainkan untuk meraup pundi rupiah tidak tergaduh.
Pariaman — Polemik dugaan pungutan uang komite di MTsN 2 Kota Pariaman semakin memanas. Saat dimintai konfirmasi oleh sejumlah awak media, kepala sekolah tidak hanya membenarkan adanya pungutan, namun juga menunjukkan sikap acuh sebagai bentuk ketidaksukaan terhadap pers yang bertugas menjadi kontrol terhadap prilaku sosial.
Terbukti, kepala sekolah bahkan berdalih dengan menuding media sebagai pihak yang “menghantam” sekolah. Padahal, persoalan ini menyangkut nasib ratusan siswa dan menyentuh isu krusial terkait transparansi pengelolaan dana publik di lingkungan sekolah negeri.
Sekolah diketahui membebankan pungutan kepada siswa dengan rincian: Rp300.000 untuk kelas VII, Rp200.000 untuk kelas VIII, dan Rp100.000 untuk kelas IX. Kepala sekolah mengakui bahwa dana yang telah terkumpul saat ini mencapai Rp40 juta, dan masih disimpan oleh Komite Sekolah. Jumlah ini diduga berasal dari total kurang lebih 650 siswa, yang berarti seluruh siswa telah membayar kewajiban tersebut.
Namun, laporan dari sejumlah wali murid mempertanyakan ke mana sisa dana lainnya, mengingat jika dihitung secara matematis, angka yang seharusnya terkumpul bisa jauh lebih besar. Sampai saat ini belum ada laporan resmi atau transparansi mengenai rincian penggunaan dana tersebut.
Yang lebih memprihatinkan, bangunan atau fasilitas yang dijanjikan dari dana komite belum juga tampak realisasinya. Tidak ditemukan papan proyek, denah, atau bukti fisik lain di lingkungan sekolah. Kepala sekolah berdalih bahwa dana masih dipegang oleh komite dan belum digunakan.
Pungutan ini disebut-sebut sebagai hasil kesepakatan dengan Komite Sekolah, dan diklaim telah diketahui oleh pihak Kementerian Agama (Kemenag) Kota Pariaman. Namun, saat dikonfirmasi pada Jumat, 13 Juni 2025, Kasi Pendidikan Islam Kemenag Kota Pariaman, H. Amril Tuangku Kuniang, justru membantah telah menerima laporan resmi dari pihak sekolah.
“Sampai saat ini kami tidak mendapat konfirmasi apa pun terkait itu. Kami akan panggil kepala sekolah untuk menjelaskan langsung,” tegas H. Amril.
Sejumlah wali murid mengaku sangat terbebani dengan kebijakan pungutan ini. Mereka menyatakan bahwa pungutan diberlakukan secara menyeluruh tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi keluarga. Bahkan beberapa orang tua terpaksa berutang demi memenuhi kewajiban tersebut agar anaknya bisa mengikuti ujian.
“Semua siswa diminta membayar, tanpa pengecualian. Bagi yang mampu, tentu bisa. Tapi kami yang kurang mampu harus utang sana-sini demi anak bisa ikut ujian,” ujar salah satu wali murid yang enggan disebutkan namanya.
Lebih jauh, terdapat dugaan intimidasi psikologis terhadap siswa yang belum mampu melunasi pungutan. Beberapa siswa merasa takut tidak bisa mengikuti ujian atau mendapatkan perlakuan berbeda dari pihak sekolah.
“Kalau ini diteruskan, makin banyak anak putus sekolah. Ini sekolah negeri, bukan swasta. Harusnya ada keringanan bagi yang tidak mampu,” tambahnya.
Saat diminta tanggapan terkait hal ini, kepala sekolah justru menyamakan kondisi tersebut dengan pelanggaran lalu lintas.
“Seperti pengendara motor tanpa helm, kena tilang, mau tak mau harus bayar denda. Di sekolah kami pun begitu,” ujarnya tanpa ragu.
Pernyataan yang dinilai kurang empatik itu justru menimbulkan kecaman baru dari masyarakat. Tak hanya itu, etika guru dan kepala sekolah juga dinilai kurang baik dalam menyikapi persoalan ini. Beberapa wali murid dan wartawan menyebut sikap kepala sekolah cenderung arogan, tertutup, dan kurang bersahabat terhadap media yang datang untuk mencari klarifikasi.
“Alih-alih menjawab dengan baik, kami malah dianggap sedang menyerang sekolah. Padahal kami hanya ingin menyampaikan suara masyarakat,” kata salah seorang awak media yang terlibat dalam peliputan.
Kritik juga mencuat di media sosial. Salah satu komentar dari akun resmi Humas Kemenag Kota Pariaman di media sosial justru memperkeruh keadaan. Dalam komentarnya, akun tersebut menyebut tim media sebagai “wartawan bodrex”, istilah yang sangat merendahkan dan dianggap sebagai penghinaan terhadap profesi jurnalis. Komentar tersebut telah menuai kecaman dari berbagai pihak karena dianggap mencemarkan nama baik wartawan dan merusak hubungan antara lembaga publik dan pers yang seharusnya saling mendukung dalam menyuarakan kebenaran.
Pernyataan yang tidak etis dari institusi resmi seperti itu sangat disayangkan dan mencederai prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan pers.
Kebijakan sepihak dan minimnya komunikasi yang sehat antara pihak sekolah, pemerintah, dan masyarakat mencederai semangat keterbukaan informasi di lembaga pendidikan negeri. Masyarakat kini mendesak agar Kemenag Kota Pariaman segera mengambil langkah tegas untuk mengusut tuntas permasalahan ini serta menertibkan etika komunikasi internal mereka.
Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik mutlak diperlukan, terlebih bila menyangkut masa depan pendidikan generasi muda. Sekolah sebagai lembaga pendidikan seharusnya menjadi ruang ramah, adil, dan terbuka, bukan tempat bagi ketertutupan, tekanan, dan pelecehan terhadap profesi yang menyuarakan kepentingan publik. (Een)
Discussion about this post