Dharmasraya – Musyawarah Wilayah (Muswil) III Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumbar yang digelar di Gedung Pertemuan Umum (GPU) Nagari Sungai Dareh, Senin (3/11/2025), tampak berbalut senyum di permukaan, namun menyimpan gelombang di bawahnya.
Pasalnya dari muswil itu, aroma ketidakpuasan menyeruak dari sejumlah datuak yang merasa adat seolah sedang diperdagangkan dan bukan mencari solusi, tapi mencari amunisi. Kondisi ini terlihat seperti negeri tak bertuan saja.
Salah satu suara yang menggetarkan ruang tradisi datang dari Rajo Pulau Punjung H.Abdul Haris Tuanku Sati. Dengan nada getir, ia mengaku terzolimi dalam proses musyawarah yang sejatinya mesti menjadi wadah mufakat, bukan arena kepentingan semata.
“Kalau sudah begini, siapa yang salah..?. Nah ke mana adat ini akan dibawa,” ujarnya lirih, namun tajam. “Jalan dialiah urang lalu, cupak dialiah urang pangaleh. Raso jo pareso sudah mulai lentur,” tambahnya, menyitir pepatah Minangkabau yang sarat makna, ukuran adat kini seolah berubah di tangan mereka yang berkuasa.
Dalam pandangan sebagian ninik mamak, Muswil LKAAM bukan sekadar agenda administratif, melainkan cermin moral dan tatanan kultural masyarakat Minangkabau di rantau. Namun, kali ini bayangan politik tampak menebal.
Isu yang berhembus kencang seperti tak terkendali bahwa diduga ada salah seorang oknum pejabat penting di negeri ini, yang bukan bagian dari struktur adat lokal, disebut – sebut ikut mengatur arah Muswil.
Ini sebuah langkah yang dianggap keliru dan melukai marwah adat yang berlandaskan “bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat.” Mirisnya salah seorang oknum datuak nan 12 pulau punjung diduga juga ikut terlibat sebagai pengagas muswil III tersebut.
“Kalau politik sudah ikut mengatur adat, maka adat bukan lagi menjadi payung, tapi alat. Padahal adat itu mestinya meneduhi, bukan ditundukkan,” ucap salah seorang tokoh tua di Dhamasraya H.Nasrul, Dt. Sinaro.
Fenomena ini menimbulkan tanya, apakah musyawarah masih berarti “mufakat” ketika keputusan seolah telah diskenariokan. Dalam masyarakat Minang, adat adalah pondasi moral tempat di mana kehormatan, rasa, dan akal budi berkelindan. Namun kini, sebagian tokoh menilai adat sedang digiring ke arah yang pragmatis.
LKAAM, lembaga yang sejatinya menjadi benteng nilai, terancam kehilangan roh bila dibiarkan terseret ke pusaran politik praktis. Sebab, ketika “raso” tak lagi menyatu dengan “pareso”, maka keseimbangan sosial bisa terguncang.
Konflik di Muswil LKAAM Pulau Punjung ini bukan sekadar soal siapa duduk di kursi pimpinan, melainkan tentang siapa yang menjaga martabat adat dari tangan-tangan kekuasaan.
Barangkali kini, yang dibutuhkan bukan sekadar musyawarah baru, melainkan musyawarah hati , untuk kembali pada makna hakiki dari “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.”
Karena jika adat tak lagi berpihak pada kebenaran, maka “cupak nan dipakai bukan lagi disebut sebagai ukuran ninik mamak, tapi ukuran politik.”Dan di titik itulah, yang kalah bukan hanya seorang datuak, tetapi marwah Dharmasraya itu sendiri. SP


Discussion about this post