Oleh Syafri Piliang
Wartawan Muda
Pulau Punjung – Bagi ASN dan Non ASN yang datang dan pulang silih berganti usai menjalankan aktivitas sebagai Abdi Negara merupakan hal yang normatif saja. Menariknya ibu jari jempol mereka itu kini tak hanya sekadar tanda. Ia berubah menjadi saksi, pengawas dan sekaligus palu kecil yang mengetuk urat disiplin para pegawai paruh waktu di Kabupaten Dharmasraya.
Sejak pertengahan Juli 2025 bagi setiap Tenaga Harian Lepas (THL) paruh waktu yang jumlahnya nyaris menembus angka 1.400 orang yang harus menempelkan sidik jarinya di mesin finger dan saat itu juga alat canggih itu memberikan jawaban ucapan “terima kasih” sekedar basa basi.” ujar Anton salah seorang ASN disalah satu dinas instansi pemkab dharmasrya.
Namun, senyum itu berbeda untuk ASN. Bukan lagi jempol, melainkan wajah. Layar ponsel Android kini menuntut birokrat untuk mengangguk-angguk atas bawah serta geleng-geleng kepala kiri dan kanan hingga tersenyum. Sebuah ritual digital yang diolah Kominfo, berbalut jargon modernisasi.
Di balik wajah yang digerakkan paksa, tersimpan pertanyaan lirih, apakah absensi hanyalah tentang hadir, atau tentang makna bekerja bagi setiap pegawai Aperatul Sipil Negara.
Di atas kertas, aturan disiplin ASN memang jelas. UU ASN Nomor 5 Tahun 2014, PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, hingga SE MenPAN-RB Nomor 20 Tahun 2021 menegaskan setiap ASN wajib hadir, wajib bekerja 37,5 jam per minggu, wajib absen dua kali masuk dan pulang semuanya terang benderang.
Tapi bagaimana dengan THL paruh waktu, mereka bukan ASN dan mereka bukan PNS. Mereka bukan pula PPPK penuh waktu. Mereka adalah pekerja kontrak yang masih hidup dalam ruang abu-abu birokrasi.
Tak diatur undang-undang, hanya bergantung pada tinta bupati, kepala dinas, atau kontrak kerja yang kadang terlihat ringkih. Mereka tetap harus datang dan pulang sesuai jam finger, tapi jam kerjanya dipangkas setengah 4 jam sehari, 20 jam seminggu.
Bagi ASN, absensi mungkin sekadar formalitas. Namun bagi THL paruh waktu, absensi itu bisa berubah menjadi cambuk halus, siapa yang tak patuh, siap-siap tergelincir dari daftar penerima honor bulanan segitu benarlah adanya.
Mesin finger tak pernah berbohong. Wajah yang digerakkan ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah, juga tak pernah pura-pura. Tetapi, apakah sistem ini benar-benar mengawasi kerja, atau sekadar mengawasi kehadiran fisik. Apakah jam 4 jam di kantor cukup disebut loyalitas, sementara kerja nyata kadang lebih dari itu, bahkan tak jarang terbawa pulang ke rumah.
Ironisnya, teknologi absensi ini justru menciptakan ritual tubuh yang mekanis, jempol menempel tak seperti ASN yang raut wajahnya tersenyum paksa. Pegawai hadir, tetapi apakah hatinya ikut bekerja?. Entah lah hanya dia dan Sang Penciptalah yang tahu.
Hanya satu hal yang pasti, di balik sidik jari dan wajah yang direkam, tersimpan narasi panjang tentang bagaimana negara menakar loyalitas pegawainya bukan lewat hasil kerja, melainkan lewat detik-detik hadir di mesin absensi.
Di Dharmasraya, disiplin kini diukur lewat jempol dan senyum digital. Dan di tengah 1.400 THL paruh waktu ( P3) serta ribuan ASN lainnya, muncul pertanyaan yang menggigit, apakah birokrasi kita sedang membangun etos kerja, atau hanya sekadar memelihara bayang-bayang disiplin yang semu tentu jawabannya ada di sana.***
Discussion about this post